Seri Sejarah dalam Lini Abad ke XVII - XVIII: Relasi Gowa-Tallo' dengan VOC #7
Hubungan kerajaan Gowa-Tallo dengan Portugis mulai merenggang karena di tahun 1638 perampokan kapal orang Bugis perompak kapal VOC yang bemuatan kayu cendana. Hasil jarahannya dijual kepada orang Portugis. Orang Portugis meminta ganti rugi kepada raja Gowa tetapi raja Gowa Karaeng Petengaloan menolak dan akhirnya Raja Gowa mengusir orang orang Belanda dari Sombaopu. Semula VOC tidak menaruh perhatian kepada kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, tetapi setelah kapal Portugis yang dirampas VOC pada masa Gubernur Jendral J.P. Coen di dekat perairan Malaka, ternyata ada orang Makassar, yang memberi info bahwa Makassar merupakan daerah transit bagi para pedagang rempah-rempah dari Maluku. Sejak tahun 1616, terjadi permusuhan antar Gowa dan VOC. Peperangan dengan VOC semakin meningkat dan baru berdamai antara tahun 1637-1638. Perjanjian damai Gowa-Tallo dengan VOC mengalami goncangan sehingga pada akhir 1653 terjadi perang besar-besaran selama 1 tahun. Di pelabuahan Sombaopu, Maluku dan rakyatnya membantu Gowa sebab tidak menyenangi sistem politik monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC.
Dampak dari perlawanan ini, VOC di Batavia menyodorkan perdamaian pada tanggal 27 Februari 1656. Perjanjian tersebut diterima Gowa karena menguntungkan, yaitu dibolehkan menagih utang ke Ambon. VOC Boleh menagih utang atas perampokan kapal Bugis yang memuat kayu cendana seperti yang pernah terjadi, VOC tidak pernah akan campur tangan dengan urusan dalam kerajaan Gowa, dan akan membayar kerugian atas penangkapan orang orang Makassar di Maluku dan sebagainya. Pada perjanjian ini, VOC merasa dirugikan, kemudian Speelman dengan dibantu Arung Palaka menyerang Gowa-Tallo. Sultan Hasanudin tidak gentar melawan kekuatan VOC, dan terjadi perang hebat dimana-mana.
Peperangan tahun 1666 – 1669 di Sulawesi Selatan, yang berpuncak pada takluknya Gowa-Tallo’ oleh VOC dan Aru Palakka, telah dianggap sebagai salah satu titik balik dalam sejarah Indonesia. Takluknya Gowa-Tallo’, bangkitnya Bone, dipaksa mundurnya Makassar dari perdagangan rempah-rempah, dan penggantian Sambaopu sebagai titik pusat pelabuhan Kota Makassar memang merupakan perubahan-perubahan yang fundamental. Namun terdapat pula lebih banyak kontinuitas dari yang diperkiran, di mana, dalam taraf tertentu, pola-pola yang dibentuk oleh posisi geografis, sejarah, dan jaringan sosial dimunculkan kembali, terlepas dari kekuasaan dan kebijakan Belanda. Tidak selalu mudah untuk melihat pola-pola tersebut karena hal-hal tersebut yang dianggap pelanggaran terhadap aturan VOC—tidak dimunculkan dalam sumber-sumber Belanda dan karenanya, resminya, tak nampak.
Namun karena kekuatan VOC lebih besar, kererajaan Gowa harus menyerah dan menandatangani perjanjian Bongaya. Isi perjanjian Bongaya, yakni:
1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
2. Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu, Wajo, dan Bone.
3. Aru Palaka dikukuhkan sebagai raja Bone.
4. Makasar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya.
5. Makasar harus membayar biaya perang dalam bentuk hasil bumi kepada VOC setiap tahun.
Perjanjian tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia, terlebih di Makasar dan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dan Aru Palaka telah menghancurkan persatuan rakyat di Makasar.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment