Dwifungsi ABRI, Sebuah Ulasan

Dwifungsi adalah gagasan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwifungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk kursi parlemen hanya untuk militer, dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.

Latar belakang paling singkat yang bisa menjelaskan hal ini adalah ketika menarik kembali lini waktu saat pasca penyerahan kedaulatan 1949. Dimana Angkatan Darat menerima kekuasaan sipil. Situasi pemerintahan yang sedang mengalami kelemahan politik membuat perwira merasa bertanggung jawab untuk melibatkan diri di dalam ranah politik dengan dalih “menyelamatkan bangsa”. Pada 1957, Angkatan Darat memperluas peranannya dalam bidang ekonomi dan administrasi politik ketika situasi darurat militer dideklarasikan.


Jendral A. H. Nasution yang kala itu mejabat sebagai pimpinan TNI-AD menyampaikan kepada Presiden Soekarno bahwa ia sangat ingin melanjutkan peranan ini setelah darurat militer dicabut. Pembicaraan ini kemudian membuahkan konsep “Jalan Tengah” di mana Angkatan Darat diberikan peluang bagi peranan terbatas di dalam pemerintahan sipil (Crouch, 2007).

---

"…memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi.”

---

Pada Agustus 1966, diadakan Seminar Angkatan Darat Kedua. Para perwira Angkatan Darat senior dan lebih dari 100 orang SESKOAD menghadiri seminar ini. Ini revisi dari doktrin Angkatan Darat yang dipandang mengandung terlalu banyak pengaruh komunis. Doktrin baru ini menetapkan fungsi fungsi Angkatan Darat di luar militer, yaitu “untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik dan ekonomi dan bidang sosial budaya” (Nugroho, 1970).

Hal ini menghasilkan pula dokumen berjudul “Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera”. Ini memiliki dua bagian:

1. Rencana untuk stabilisasi politik

2. Rencana untuk stabilisasi ekonomi

Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.

Melalui dwifungsi dan "Orde Baru" sebagai kendaraan politik, tentara bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia, dengan cara ini yang mencapai puncaknya pada 1990-an, namun masih tetap kuat setelahnya. Para perwira militer selama kepresidenan Soeharto memegang posisi kunci dalam semua tingkat pemerintahan di Indonesia, termasuk wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan kabinet Soeharto.

Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009.

Konsep dan Ranah Peran ABRI dalam Dwi Fungsi

Konsep Dwi Fungsi ini mulanya memang bukan berasal dari rezim Presiden Soeharto di era Orde Baru, namun telah digagas di era Presiden Soekarno. Soekarno berusaha untuk mengembalikan posisi PKI (Partai Komunis Indonesia), tetapi usaha-usahanya dan bukti-bukti kesalahan memenejemen konsep yang terjadi membuat dukungan publik pada Soekarno dengan cepat menurun. Pada 1966, ia dipaksa mengalihkan kunci kekuatan militer dan politik kepada Jenderal Soeharto, pemimpin yang menyelamatkan negara dari ancaman kudeta. Setahun setelah Soeharto mengambil alih negara sepenuhnya, Soekarno meninggal pada Juni 1970.

Soeharto merombak baik kebijakan luar negeri maupun domestik yang diterapkan Soekarno dalam ideologi tradisionalnya, mengatur pemulihan ekonomi dan pengembangan sebagai tujuan utama. Presiden Soeharto berperan ganda, tidak hanya sebagai pemimpin negara, tetapi juga berperan sebagai pemimpin pemerintahan. Ia memimpin kedudukan eksekutif sekaligus kabinet yang ia pilih. Parlemen diisi sebanyak 500 anggota, dengan 100 orang diantaranya ditunjuk dan 400 lainnya terpilih. Badan kedua adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang beranggotakan 1000 orang, sebagian besarnya berasal dari anggota ditunjuk, sementara yang lainnya dipilih. MPR adalah badan yang memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang secara teori menentukan kebijakan nasional. Pengadilan tertinggi adalah Mahkaman Agung. Hak pilih bagi mereka yang berusia 18 tahun dan untuk yang sudah menikah tidak memandang usia.

Kekuatan militer Indonesia, TNI, bertugas untuk pengamanan nasional dan sebagai pemegang peranan sosio-politik. Dibawah pemerintahan Soekarno, kekuatan militer memperoleh pengaruh politik yang lemah, tidak efektif, dan memiliki birokrasi yang buruk, termasuk dalam hal administrasi. Secara keseluruhan, masyarakat sipil maupun para pemegang kelompok ideologi tertentu masih sulit mempercayai militer. Oleh karena itu, kemudian militer Indonesia berusaha mempromosikan konsep negara sekuler dimana semua kelompok sosial berjalan secara damai. Sementara itu PKI kesulitan dalam melakukan infiltrasi ke dalam kekuatan militer, dan mereka benar-benar mengalami kegagalan di tahun 1965. Pasca kejadian politik-militer 1965, TNI membersihkan jajaran perwira yang terlibat dalam kudeta, dan dibawah kepemimpinan Soeharto, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara disatukan menjadi struktur komando terpadu, dengan Angkatan Darat yang dominan. Angkatan Darat sendiri ketika itu berada dalam kontrol penuh Soeharto.

Sebuah seminar diadakan di bulan Agustus 1966 untuk mengembangkan dan melegitimasi peran ABRI yang akan nampaknya akan sangat berpengaruh dalam Orde Baru Soeharto. Hasil dari seminar tersebut kemudian disebarluaskan di keempat layanan militer dan di saat seminar kedua dihelat pada bulan November. Secara implisit menolak gagasan Nasution (Kepala Angkatan Darat, staf pada tahun 1951-1953), yakni konsep “Jalan Tengah”, yang membagi pembuatan keputusan nasional sebagai kebijakan. Sebaliknya, doktrik ABRI yang baru menyatakan bahwa “semua harapan rakyat untuk kesejahteraan difokuskan pada Angkatan Bersenjata pada umumnya dan TNI secara khususnya… Jadi bagi Angkatan Bersenjata hanya ada satu alternatif: untuk mewujudkan apa yang telah dipercayakan kepada mereka…dan untuk mengimplementasikan aspirasi rakyat.”

Demikian, ABRI mengklaim bahwa hal tersebut harus ditunjukkan dalam peranan kekuatan militer dan sosial sekaligus, yang kemudian menginisiasi proses reorganisasi internal pada periode 1969-1970 dan muncul sebagai lembaga politik dominan bangsa, membentuk basis kekuatan untuk pemerintahan Soeharto.

Segala usaha ABRI dalam kehidupan nasional di tahun 1982 adalah ekspresi prinsip Dwi Fungsi dalam tiap bidang pertahanan sebagai “pejuang kemerdekaan dan juara demokrasi,” dan merasa diri mereka dipanggil untuk memenuhi melaksanakan tugas khusus, kekuatan budaya sekaligus penyedia kesejahteraan.

Meskipun Soeharto telah bertindak untuk membatasi kekuasaan Sang Jenderal, ia juga telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan citra mereka diantara masyarakat dalam upaya untuk menekan ketidakpuasan dengan peran militer yang beragam. Meskipun tekad Soeharto untuk menurunkan profil milter di Indonesia, prasangka tersebut tetap mengakar. Soeharto mendesak para militer untuk mendisiplinkan diri, berperilaku sebagaimana layaknya pelayan rakyat, dan menahan diri dari ketidaknyamanan diantara penduduk desa.

ABRI lahir dalam situasi pergolakan revolusi dan tidak pernah sekedar menjadi instrument penjaga keamanan. ABRI bukan hanya badan penyelesai misi militer, tetapi mereka memiliki misi di dalam semua bidang kehidupan sosial. ABRI dengan Dwi Fungsi-nya di Indonesia, adalah satu-satunya badan yang memiliki kemampuan untuk mengatur negara ini dengan efektif. Mereka memiliki fungsi ganda memainkan peran sentral dalam kontribusinya untuk pengembangan negara.

ABRI dalam Struktur Penetapan Tujuan Nasional

ABRI adalah organisasi modern, anggotanya adalah orang yang sangat terlatih dan terdidik. ABRI memiliki minat yang besar terhadap proses modernisasi negara dan masyarakat, sehingga mereka sangat ingin memainkan peran penting dalam proses tersebut. Manajemen dan pengembangan ABRI tergantung pada pengembangan dan penegakan seluruh negara. Pada awalnya, ABRI memiliki peran terbatas dalam bidang non-militer, namun karena tertekan oleh situasi krisis nasional, ABRI secara bertahap telah dipaksa untuk memperbesar perannya.

Peran ABRI dalam masyarakat dirumuskan secara resmi dengan nama Fungsi Ganda. Dalam latar belakang Angkatan Bersenjata, mereka memiliki asal-usul sebagai pejuang kebebasan pemuda di tahun 1945, baik di BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan dalam perjuangan organisasi. Diluar etosnya sebagai pejuang kemerdekaan dan prajurit, muncul konsep Dwi Fungsi, yaitu fungsi pejuang kebebasan yang kemudian meluas ke fungsi kekuatan sosial-politik dan fungsi prajurit yang diperluas ke pertahanan dan keamanan dan kekuatan militer.

ABRI menyadari bahwa tanggung jawabnya tidak hanya menyoal keselamatan dan keamanan, tetapi juga perihal kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. ABRI tidaj menginginkan kekuatan tanpa batas. Dwi Fungsi ABRI dikatakan sebagai salah satu aset dasar pembangunan nasional oleh MPR pada tahun 1978.

Peran ABRI dalam politi, ekonomi dan masyarakat, kebijakan luar negeri dan pertahanan serta keamanan didasarkan pada Negara Pancasila, Tujuh Ikrar dan Sumpah Prajurit dipegang oleh personil militer.

Tujuan Dwi Fungsi ABRI

Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang 1945

Memiliki tujuan nasional untuk: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Kondisi yang diinginkan oleh negara dan bangsa Indonesia adalah untuk mencapai kedamaian secara material dan spiritual, keadilan dan masyarakat yang makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945.

Kesimpulannya, Dwi Fungsi ABRI adalah suatu konsep yang diterapkan secara politis dimana unsur-unsur militer dimasukkan ke dalam posisi-posisi atau kedudukan strategis dalam pemerintahan dengan tujuan untuk “menyelamatkan negara”. Awal mula milter ‘masuk’ ke dalam parlemen adalah ketika pada era Presiden Soekarno, ketika ia mendeklarasikan keadaan darurat militer pada tahun 1957. A.H. Nasution yang kala itu menjabat sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Darat meminta untuk meneruskan peran militer dalam bidang sosial, sehingga tercetuslah konsep “Jalan Tengah”. Namun konsep ini ‘terdepak’ dari pilihan ketika diadakan seminar Angkatan Darat pada 1966 dan Dwi Fungsi ABRI makin mengintervensi bidang sosial-politik jauh lebih dalam dan kompleks saat Indonesia berada dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. ABRI berperan ganda sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara sekaligus menjadi kontrol kekuatan sosial. Dwi Fungsi ABRI runtuh seiring ambruknya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Dalam kiprahnya untuk menentukan tujuan nasional, Dwi Fungsi ABRI berperan melalui dua kanal legitimasinya sebagai pelaku pertahanan dan keamanan negara serta pelaku penyedia kesejahteraan rakyat. Dua kanal inilah yang kemudian pada ujungnya sama-sama memiliki kekuatan pamungkas dalam proses penentuan tujuan negara.


DAFTAR PUSTAKA

Crouch, Harold. 2007. The Army and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox.

Notosusanto, Nugroho. 1970. The Dual Function of the Indonesian Armed Forces

Especially Since 1966. Djakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan

Pusat untuk Angkatan Bersenjata.

Harisanto, Eddy S. 1993. The Dual Function of The Indonesian Armed Forces.

California: Naval Postgraduate School.


---

Disclaimer: @zhafiradnz personal archives. 

Contribute to: @kawula_historia






Comments