Ikhtisar Dinamika Politik Pemerintahan Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Demokrasi Terpimpin adalah mode pemerintahan Indonesia setelah terombang-ambing dalam sistem pemerintahan Liberal yang menimbulkan banyak instabilitas politik, dan dikatakan mendapat sokongan positif dari masyarakat dan sejumlah partai besar oleh Mahkamah Agung kala itu, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan. Kabinet Karya dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Kerja selang 5 hari Dekrit Presiden disahkan. Presiden Soekarno berkedudukan sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua wakil, yakni dr. Laimena dan dr. Subandrio, dan menetapkan pembebasan Irian Barat, implementasi keamanan dalam negeri dan pemenuhan sandang pangan rakyat sebagai agenda utama kabinet. Kemudian DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang juga dikepalai oleh Presiden Soekarno dibentuk melalui Penpres No. 3 Tahun 1959, dengan tanggungjawab sebagai semacam konsultan atas pertanyaan Presiden dan memiliki hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah, sebagaimana yang dituliskan pada Pasal 16 Ayat 2 UUD 1945. Pada hari perlantikan DPA ini (17 Agustus 1959), Presiden Soekarno menuturkan pidatonya yang terkenal, “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang sekaligus menjadi inisiasi pertama tentang sistem Demokrasi Terpimpin. Pidato tersebut kemudian disepakati DPA menjadi GBHN (Garis Besar Haluan Negara) pada sidang di bulan September 1959. GBHN tersebut kemudian dinamai “Manifesto Politik Republik Indonesia” atau dapat disingkat sebagai Manipol.
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dibentuk presiden kemudian, dengan syarat setuju untuk kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto Politik. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hasil Pemilu 1955 tetap melaksanakan tugasnya sesuai UUD 1945 setelah perombakan dari pemerintah tersebut sampai DPR baru disusun. Hal ini mulai menunjukkan sedikit gesekan ketika DPR lama menolak rencana anggaran belanja negara tahun 1960 yang diajukan pemerintah dan berbuntut dibubarkannya DPR hasil Pemilu 1955. DPR baru kemudian disusun Presiden Soekarno pada 24 Juni 1960 dan dinamai sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), dan dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Komposisi DPR GR tersebut terdiri atas golongan Nasionalis, Islam dan Komunis, dengan golongan Komunis yang mengalami kenaikan elektabilitas dalam kedudukan di kabinet ini dibandingkan di kabinet yang lalu. Tugas DPR GR, seperti yang tertuang dalam pidato Presiden Soekarno adalah membantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
Sempat ada protes atas pembubaran DPR lama oleh Partai NU (Nahdlatul Ulama) dan PNI (Partai Nasional Indonesia), sebelum kemudian kursi untuk kedua partai tersebut ditambah dalam kabinet dan protes terselesaikan. Ada juga kontra laten yang dapat terjadi dalam kabinet ini dengan kedudukan NU dan PKI dalam satu forum, karena NU sesungguhnya menolak Kabinet Nasakom dan tidak kooperatif dengan PKI. Reaksi sumbang lainnya datang dari Mr. Sartono dari PNI, Ketua DPR hasil Pemilu 1955 yakni Mr. Iskaq, Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi dan Soetomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia yang secara implisit mengatakan tidak terlalu setuju dengan perubahan yang terjadi. Soetomo bahkan sempat mengajukan pengaduan kepada MA dengan surat tertanggal 22 Juni 1960 yang bertuliskan “Mengadukan kabinet yang dipimpin oleh Ir. Soekarno atas pelanggaran yang dilakukan oleh kabinet tersebut atas UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, dengan tindakan-tindakan kabinet membubarkan parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat…” dan mengatakan adanya pemaksaan ajaran Manipol dan Usdek, paksaan kerjasama antara golongan Nasionalis, Agama dan Komunis serta paksaan pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Atas segala kontra ini, terbentuklah Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR GR yang kurang lebih berisikan tokoh-tokoh dari NU, Parkindo, Partai Katholik, Liga Muslimin, PSII, IPKI dan Masyumi. Sebagai counter¬-nya, Presiden Soekarno membentuk Front Nasional melalui Penpres No. 13 Tahun 1959, sebagai organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi yang terkandung dalam UUD 1945.
Dalam usaha regrouping kabinet yang berlandaskan Keppres No. 94 Tahun 1962, dilakukan pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, terdiri atas MPRS, DPR GR, DPA, MA dan Dapernas (Dewan Perancangan Nasional) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Pimpinan dari lembaga-lembaga tersebut kemudian diangkat menjadi menteri dan ikut dalam sidang-sidang kabinet tertentu, juga merumuskan kebijakan pemerintah dalam lembaganya masing-masing. Disamping itu, Presiden membentuk pula MPPR (Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi) dimana memposisikan MPRS beserta stafnya sebagai badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus untuk menyelesaikan agenda revolusi.
.
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment