Legenda Rampok Rasno: Sebuah Kisah Turun-Temurun dari Tahun 50-an
Tahun 1950-an adalah saat dimana kau dapat menganggap pencurian dan mati kelaparan adalah hal yang membosankan. Mungkin kau tak akan terkejut tiap kali berita-berita itu mampir ke gendang telinga ataupun kau lihat sendiri di depan mata. Tanah-tanah luas membentang, dialiri sungai-sungai kecil yang terlihat sejuk buat mandi. Tapi jerit kelaparan rakyat selalu menggema tiap harinya. Masih bodoh dan minim edukasi adalah penyebab malnutrisi dan kematian paling pamungkas. Selain memang, kemelaratan ini jadi semacam dampak pemerintah di pusat yang masih ‘sibuk’ mengurusi kelengkapan lembaga dan hukum-hukum negara.
“Jangan salahkan pemerintah, nduk. Mereka susah payah mbangun Indonesia.” Kata Mbah Maksum sembari menepuk bahuku sore itu, matanya menatapku dengan setitik jenaka ketika masih menemukanku memberengut kesal memaki pemerintah. “Ojo sitik-sitik nyalahke pemerintah ya, nduk.”
Aku membuang napas dan mengangguk.
Mbah Maksum menyeruput kopi manisnya lamat-lamat. “Ngerti ceritane Rasno ora kowe, nduk?” tanyanya ketika aku hendak mengangkat bokongku, berniat membantu Mbah Supri, istri Mbah Maksum, menyapu dedaunan nangka di pelataran depan yang luas. Aku duduk kembali.
“Ya?” tanggapku sekenanya.
Mbah Maksum malah menawari kopinya padaku. Aku menggeleng, “Nggak mbah, kopinya mbah gak masuk standar manisku. Diabet muda nanti aku.” Jelasku sambil nyengir.
Lansia berumur 79 itu menggerak-gerakkan kepalanya jenaka—suka sekali memang Mbah Maksum berekspresi jenaka menanggapi polah cucu-cucunya. “Mau diceritain nggak?”
“Rasno ya? Asing mbah, ga tau.”
“Lho, anak sejarah kudu ngerti ceritane. Sopo ngerti iso kok tulis dadi buku.”
Kuangkat kedua bahuku cuek. Biasanya aku cepat menyambar umpan cerita-cerita dari kakekku itu, tapi yang ingin kulakukan detik itu adalah mengguyur dan menggosok badanku yang terasa lengket. Sejak pulang dari kerja bakti di musholla kami bertukar pikiran, mengomentari selokan, jalan dan tetek bengek proyek pembangunan desa. Yang kutemukan adalah fakta bahwa dana desa yang tidak termanajemen dengan baik, yang kudengar hanyalah masalah finansial lain yang menjemukan nalar. Lagi-lagi aku memaki pemerintah—kebiasaan, aku idealis penuntut.
“Bagus, bagus. Tapi zamanku mbiyen, nduk. Protes itu gak ada, walaupun dulu orang-orang sangat-sangat melarat. Bayangke…..” dan kata-kata Mbah Maksum seterusnya bagaikan kucuran air dari keran bocor yang mendongeng tentang kemelaratan tahun 1950-an. Ya, mataku sedikit terbuka, tapi sense-of-blaming-government tetap menjadi argumenku, sampai akhirnya kami masuk rumah, disambut mug putih berisi kopi yang mengepul dan pisang goreng di meja teras. Mbah Supri yang buatkan.
Aku telah menghabiskan pisang goreng satu lonjor dan gerakan tanganku berhenti sejenak saat akan mencomot pisang goreng kedua, ‘sial! Minggu ini ada tugas Sejarah Lisan bukan?’ batinku. Aku menoleh cepat ke Mbah Maksum yang sedang mengunyah pisang gorengnya yang terkulai separuh.
“Aku mau deh, diceritain tentang Rasno!” pintaku agak berlebihan dan Mbah Maksum dijamin heran tiba-tiba aku jadi antusias. Namun kakekku itu tak susah-susah menanyakan kenapa aku jadi sedikit ngotot, dan kuanggap tangan keriputnya yang sudah sedikit gemetar dan tengah menurunkan mug kopinya itu menjadi permulaan kisah yang hebat.
Rasno? Siapa itu Rasno? Apakah dia pemuda ganteng yang beken di zaman Mbah Maksum muda?—saingannya ketika hendak meminang Mbah Supri? Ah, jangan, deh. Mana bisa cerita picisan jadul jadi bahan tugas Sejarah Lisan?
Dan, ternyata, Rasno ini adalah seorang yang jauh dari dugaanku…
Rasno ialah seorang warga Desa Cepogo biasa yang telah berumah tangga, sudah beristri dan memiliki anak. Sosoknya terkenal sebagai legenda rampok yang paling fenomenal. Sematan "fenomenal" itu tentu berasalan. Sangat beralasan. Karena sosoknya adalah penyulut tragedi pembantaian massal di desanya.
Sebelum menjadi sosok Rasno yang amat keji dan membuat keonaran secara masif di desanya, ia telah terjun ke dalam perilaku kriminal yang ‘dianggap’ lazim ketika itu; mencuri apa saja yang dapat dimakan.
Gambaran sosial secara umum di tahun 1950-an, beberapa tahun lepas Indonesia merdeka, kondisi rakyat masih serba kekurangan—seperti yang sudah kujadikan intro di depan tadi. Pemberdayaan perkebunan untuk pemenuhan pangan di daerah-daerah pelosok masih sangat jarang. Ini realitas yang disaksikan dan dirasakan Mbah Maksum. Ketika itu daya kretifitas masyarakat masih belum berkembang. Rakyat begitu melarat, sehingga untuk makan pun mereka harus saling curi.
Cerita ini diawali bukan dengan kisah Rasno, tetapi dua orang yang kelak menjadi bagian komplotan Rasno. Dua orang ini, yang tidak diketahui namanya, suatu ketika tertangkap basah mencuri ketela. Mereka disatroni pamong desa lalu diarak ke kediaman Petinggi. Disana mereka kemungkinan diperlakukan kasar. Oleh perintah Petinggi, Kepala Sekolah SD bernama Pak Sirman, memberikan ceramah dengan harapan agar dua orang pencuri ini dapat bertaubat setelahnya dan tidak lagi berusaha menghancurkan hidupnya masing-masing dengan mencuri. Tidak sampai disitu, mereka kemudian diarak lagi keliling kampung oleh para pamong desa, sambil dikalungi ketela curiannya beserta bonggolnya. Lepas itu, kedua orang ini kemudian menyimpan dendam pada aparat dan beberapa warga yang mengarak mereka keliling kampung.
Kemudian kisah si Rasno. Rasno ini entah ketahuan mencuri apa, suatu ketika akhirnya tertangkap. Ia ditangkap dan diberi hukuman diikat kedua kaki dan tangannya, lalu dikerek dengan tali, seperti bendera yang dikerek pada tiang. Sekali itu, ia merasa dipermalukan. Dendam tersulut di hatinya. Ia merasa telah dipermalukan. Dendam inilah yang kemudian menjadi pemantik atas tragedi berdarah di desa kemudian.
Rasno ini kemudian mengumpulkan orang-orang sejenis dirinya yang biasa jadi aktor rampok, macam gengster, karena benar-benar pakai senjata-senjata menyeramkan. Ia sendiri sebagai pimpinannya. Disebutkan salah satu partner-nya bernama Sumprut. Orang-orang di dalam kelompok rekrutan Rasno ini kemungkinan besar adalah orang-orang yang pernah merasa dipermalukan karena tertangkap basah telah mencuri. Sungguh dilematis memang, tindakan perampokan memang tidak dapat dibenarkan dengan cara apapun. Tetapi agaknya sedikit miris, karena mereka mencuri juga karena desakan kehidupan. Aparat keamanan, termasuk para pamong desa yang digambarkan begitu ganas-ganas perawakannya, serta Petinggi pada zaman Rasno yang begitu membenci para sakitan (sebutan untuk para percuri desa) menjadi penyulut kedendaman yang lain bagi para anggota kelompok ini. Mungkin dalam perspektif Rasno dan kawan-kawan, para pamong desa itu sangat berlaku semena-mena.
Awalnya kelompok Rasno ini muncul dan membuat keonaran hanya sebatas ‘mengganggu’ warga dengan melakukan aksi pengancaman dan intimidasi yang praktiknya kemungkinan mirip seperti perampasan atau pembegalan. Namun masyarakat akhirnya tahu bahwa mereka adalah suatu gabungan para sakitan desa ketika suatu saat ada rumah di desa yang dibakar dan dijarah. Begitu melejitnya pamor kriminal kelompok ini, karena aksi tersebut juga ditimpali dengan tidak segannya mereka untuk membunuh siapapun yang melawan, bahkan dengan cara yang sadis dan tidak berperikemanusiaan.
Obongan Omah, begitu para sepuh Cepogo menyebut tragedi pembakaran rumah-rumah di segala penjuru desa yang dilakukan oleh komplotan Rasno. Mereka disebut kelompok terorganisir lantaran dalam aksinya, setiap malam mereka akan membagi kelompok ‘pengintai’ menjadi dua orang-dua orang untuk menyisir rumah mana yang akan mereka jarah. Mereka akan beroprasi diatas jam 12 malam, menggunakan lampu petromax sebagai penerangan dan berdiskusi soal target mereka sambil jalan. Pola yang mereka ambil mungkin terkesan acak dan semaunya, tapi yang paling menonjol dari kelompok Rasno ini adalah utamanya menyerang para pamong desa dan orang-orang yang memiliki aji (kekayaan, berkecukupan untuk makan).
Korban obongan omah ini tidak dapat disebutkan rinciannya, yang jelas kemungkinan lebih dari satu kejadian. Salah satunya, yang disebutkan Mbah Maksum, adalah obongan omah Pak Gur Sujak, mertua Pak Hasbullah. Rumah beliau yang penuh dengan jagung itu dilalap api sampai habis tak bersisa. Entah apa motif konkretnya sampai Rasno cs melakukannya. Tidak dijelaskan pula detail tentang kemungkinan ada barang-barang lain di rumah tersebut yang diambil.
Mbah Maksum memberi jeda sejenak di bagian ini, menimbang-nimbang sesuatu di dalam ingatannya sebelum mengatakan bahwa untuk kasus Pak Gur Sujak ini sepertinya juga bukan motif kebencian pribadi. Maka kemungkinan besarnya, obongan omah kali itu ‘hanya’ untuk pelampiasan kemarahan Rasno kepada penduduk Desa Cepogo.
Di kesempatan obongan omah lainnya, rata-rata kelompok Rasno ini akan membunuh sang pemilik rumah, menjarah barang-barang yang mereka sukai, termasuk di dalamnya adalah hewan ternak seperti kambing-kambing, setelah itu baru membakar rumahnya.
Kala itu, Pak Sirman yang dikenal sebagai seorang Kepala Sekolah SD Desa tempat Mbah Maksum menuntut ilmu disana, didatangi oleh beberapa orang anak buah Rasno. Pak Sirman ini digambarkan sebagai orang yang disiplin dan taat pada agamanya, Katholik. Beliau juga dikatakan sebagai seorang yang sopan dan menggunakan Bahasa Indonesia, serta kala itu memelihara seekor anjing.
Menghadapi rampok-rampok itu, Pak Sirman dengan sabar berkata, “Kalau yang kalian minta adalah uang, saya tidak punya uang. Kalau mau sepeda, silakan ambil sepedanya.”
Sepeda yang dimaksud adalah sepeda yang biasa beliau naiki untuk bepergian kemana pun, dan sepeda itu terbilang cukup bernilai pada masanya, buatan luar. Tetapi tidak, rampok-rampok ini tetap berusaha melawan. Anjing milik Pak Sirman kemudian menyalaki dan mengejar mereka, berusaha membela majikannya.
Namun apa yang selanjutnya terjadi adalah, anjing ini ditebas kepalanya dengan pedang. “Bar iku weg! weg! Ndase kui sigar”, Mbah Maksum memeragakan bagaimana tebasan itu dibuat. Darah anjing ini sampai menciprat ke gedhek (pagar anyaman bambu) depan rumah Pak Sirman dan sisa peristiwa itu kemudian dapat disaksikan warga setelahnya.
Kebayan Polah adalah seorang pamong desa yang memiliki air muka garang dan ganas. Pada suatu malam, ia telah bersiap dengan pedang samurainya ketika tahu rumahnya akan disatroni rampok-rampok Rasno. Kebayan Polah ini menaiki meja yang modelnya dapat diputar. Begitu para rampok ini menjeblak masuk, ia langsung memutar pedangnya, melukai beberapa diantaranya sekaligus. Ada rampok yang rahangnya tertebas dan luka-luka tersambit di wajah.
Namun kemudian ada salah seorang dari rampok tersebut yang berinisiatif merangkak ke bawah meja, mencabut meja itu, dan membuat Kebayan Polah jatuh ke tanah. Kebayan Polah berusaha melarikan diri, tapi lekas tertangkap di depan rumah tetangganya, yang bernama Pak Hasbullah. Begitu tertangkap, para rampok ini dengan kejinya mencacah badannya hingga menjadi tak berbentuk lagi.
Keesokan harinya, ketika ada pemeriksaan rutin aparat, mayat Kebayan Polah diangkut ke Kantor Polisi menggunakan truk, diikuti oleh sang istri, yang kala itu dikenal sebagai penjual warung yang menjajakan pisang goreng, bernama Mbah Mur.
Disebutkan lagi satu peristiwa di Desa Ndudak Awu, desa yang masih bertetangga dengan Cepogo. Kala itu ada sepasang pengantin baru. Wanitanya ini begitu populer di kalangan warga desa, karena parasnya yang ayu. Suatu ketika wanita ini diculik dan dibawa ke basecamp komplotan Rasno yang dibangun di pegunungan dekat sana. Penculikan ini dimaksudkan agar si wanita ini bersih-bersih dan memasak untuk mereka. Tiap pagi, wanita ini dipaksa mencuci pakaian di sungai. Kemudian dia mendapat ide untuk menyusuri bantaran sungai sampai ke bawah dan akhirnya menemui kampung. Di situlah akhirnya dia dapat lolos. Setelah kejadian itu, Desa Ndudak Awu dijaga ketat oleh aparat.
Kegentingan atas kriminalitas kelompok Rasno kemudian membuat suatu satuan polisi ditugaskan di desa-desa tersebut, didatangkan dari Bangsri, yang pada zaman 50-an itu masih menjadi kecamatan yang memiliki wewenang sampai Cepogo (sekarang Cepogo masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Kembang). Mereka kesemuanya berjalan kaki. Kala itu hujan deras, polisi yang tengah berjaga kemudian mengantuk dan lengah. Pistolnya diambil rampok-rampok Rasno, lalu polisi malang ini disembelih di tempat.
Kejadian kriminalitas luar biasa yang terjadi di Desa Cepogo dan sekitarnya ini berlangsung kurang lebih selama dua tahun, dimulai dari tahun 1952 sampai kemudian ditumpas oleh aparat yang menyergap basecamp-nya di gunung pada tahun 1954. Di tahun itulah keadaan berangsur-angsur membaik. Tidak dapat dipastikan berapa keseluruhan jumlah korban komplotan Rasno ini. Yang jelas, pada masa-masa tersebut, warga Cepogo bisa dipastikan tergunjang ketakutan psikologis yang hebat. Dituturkan bahwa mereka harus cepat-cepat mengunci pintu rumah mereka dengan bethik, sejenis gelondong kayu pengganjal, untuk tetap aman. Atau kalau tidak begitu, mereka akan menyiapkan pelepah-pelepah aren di depan rumah mereka, yang dipercaya akan mengurungkan niat para perampok untuk masuk ke rumah.
Akhir riwayat komplotan Rasno ini bermula ketika pemerintah yang sudah ‘tidak tahan’ dengan keonarannya, menugaskan sekelompok angkatan bersenjata untuk menumpas mereka. Dengan bantuan warga-warga desa, para aparat ini mengepung basecamp Rasno di gunung, memberondonginya dengan peluru tanpa ampun. Mereka yang sedang berpesta memasak daging kambing hasil rampasan berusaha melarikan diri. Bebeberapa mati di tempat, beberapa lainnya mampu lolos. Yang mati kemudian dibungkus dengan pelepah aren dan digotong sampai Bangsri. Yang lolos diburu dan diinterogasi.
Disebutkan Sumprut, salah satu partner Rasno yang terkenal, menjadi salah satu yang selamat dan dimintai untuk menunjukkan siapa saja anggota Rasno komplotan yang masih tersisa. Dia tak mampu melawan karena telah dilumpuhkan dengan timah panas di kaki, sehingga memberikan informasi yang jujur. Setelah terkumpul, mereka dihabisi. Dan termasuk perangkat desa yang pro-Rasno, seorang Camat, diseret ke Lapangan Bucu di Tlumpang, di tembak mati ditonton para warga.
Setelah penumpasan itu, keadaan desa jauh lebih stabil dan aman. Rampok-rampok kecil masih tetap melakukan aksinya, hanya saja tidak ada lagi bunuh-membunuh semasif dan semenggemparkan di era Rasno. Kemudian nasib keluarga Rasno, istri dan anaknya, mereka tidak mendapat perlakuan aneh-aneh dari masyarakat sekitar, hanya saja memang tidak dipedulikan dan tidak ada lagi yang menafkahi. Ia mendapat ‘cap’ atau labeling sebagai “Janda Rampok”.
Baiklah, mungkin itu cerita paling mengerikan setelah dosen-dosenku bercerita tentang kekejian tragedi pasca 1965. Tapi yang masih bersisa di benakku adalah, “Mengapa Rasno sampai sebenci itu?” awalnya kupikir karena mungkin Rasno memiliki pride atau harga diri yang amat sangat maha tinggi. Tapi mana ada manusia yang bisa punya dendam begitu dahsyat jika tidak ada alasan lain? Lalu aku teringat kembali komentar Pak Mahendra, dosen mata kuliah Sejarah Lisan ketika presentasi, “Bisa saja, Rasno ini adalah seorang yang dulunya laskar, makanya dia tidak terima ketika tertangkap basah menjalani hidup dengan cara yang tidak terhormat.”
Bisa jadi. Terlebih Rasno ini pegang senjata api dan sejenisnya.
Tepat sebelum adzan berkumandang cerita tentang Rasno itu selesai didendangkan Mbah Maksum. Teguran Mbah Supri saat berlalu menghidupkan saklar lampu teras menyadarkanku kalau badanku belum jadi kubilas sesorean ini. “Wes wes, jagong opo to. Ayo podo solat, mangkat masjid.”
Mbah Maksum menepuk bahuku setelah menyodorkan mug kosong ke tangan Mbah Supri. “Arep kok tulis kan, kuwi?”
“Iya, mau aku jadikan bahan tugas.” Kupamerkan cengiranku. Cepat-cepat kumatikan recorder smartphone-ku yang sedari tadi terkulai di meja kopi, melemparnya asal-asalan ke sofa ruang tamu di dalam. Aku lari menyongsong handukku di jemuran sebelum ngacir ke kamar mandi.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal experience archives based on actual interview.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment