Sastra Babad
Babad adalah buku yang berbicara mengenai sejarah suatu daerah dan golongan masyarakat menurut anggapan pada waktu itu. Namun ada beberapa contoh tentang peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi dan sesuai dengan kenyataan, diantaranya adalah Babad Giyanti atau Babad Surakarta karangan Yasadipura.
Naskah “Babad Demak Pesisiran” termasuk sastra babad. Cara atau metode penulisannya mengikuti tradisi, yakni memuat daftar urutan raja-raja yang sambung-bersambung. Di dalamnya diselingi dialog-dialog pendek antara pelaku-pelaku sejarah yang dianggap penting. C.C. Berg (1974: 58-59) dalam Penulisan Sejarah Jawa menuliskan beberapa tujuan dibuatnya babad diantaranya adalah sebagai alat pemujaan raja. Umumnya penulis babad menggunakan tembang macapat untuk melahirkan buah pikirnya.
Fungsi dan kududukan naskah
Dalam kasusastraan Jawa, naskah “Babad Demak Pesisiran” dapat digolongkan sebagai hasil kasusastraan Islam. Hal ini jelas ditunjukkan dengan penulisan naskah yang menggunakan tulisan Arab Pegon, disamping itu ada tulisan pembuka bismillahirrohmanirrohim pada permulaan naskah seperti yang biasa dilakukan para pengarang Islam (kalangan pesantren) (Poerbatjaraka, 1950:75). Bukti lainnya adanya pada pertama dan kedua, yang menunjukkan bahwa “Babad Demak Pesisiran” menggunakan tradisi kasusastraan Islam sebab manggala-manggala (manggala = pembukaan) dalam penggunaannya biasa terdapat dalam kesusastraan Islam pada umumnya.
Perbedaan dan persamaan
Perbedaan manggala kakawin Jawa kuno dengan
kesusastraan pesantren dan manggala “Babad
Demak Pesisiran” adalah manggala kakawin Jawa
kuno memuat seruan dan pujian-pujian para dewa, nayaka, dan raja pelindung; sedangkan pada manggala karya sastra pesantren dan “Babad Demak Pesisiran” memuat
seruan dan pujian pada Allah, Nabi dan para sahabatnya. Dalam naskah “Babad
Demak Pesisiran” hal ini terdapat dalam pada pertama gatra kedua: anjebut nama
Yang Sukma (menyebut nama Tuhan); pada
kedua gatra kedua; Nabi Muhammad;
serta pada kedua gatra keempat, kelima dan keenam: “Abubakar, Ngumar, Ngumar, dan
Ngali Murtala,”
Sementara persamaannya
adalah dalam manggala-manggala itu
sang penggubah puisi pada umumnya merendahkan dirinya.
Manggala “Babad Demak Pesisiran” dapat dianggap sebagai hasil sinkretisme. Terlebih penggunaan kata Yang Sukma dan bukan Allah disamping nama Nabi Muhammad, Abubakar, Ngumar dan Ali Murtala, hal tersebut tentu jelas mengindikasikan sinkretisme.
Disamping itu pula dicampurkannya para
dewa dan para nabi yang kedua-duanya dianggap sebagai keturunan Nabi Adam. Para
nabi adalah keturunan cucu Nabi Adam yang bernama Raden Anwas, sedangkan para dewa adalah keturunan cucu Nabi Adam
yang bernama Nurcahya. Menurut buku Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking
Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647, nama Raden Anwas tidak ada (Olthof,
1941). Demikian dalam buku-buku Babad
Tanah Jawi lainnya (Balai Pustaka, 1939). Jadi tidak adanya unsur Raden
Anwas dalam buku-buku babad itu mungkin sengaja dihilangkan oleh
penulis-penulis “Babad Tanah Jawi” atau mungkin unsur yang ditambahkan (Berg,
1974). Akan tetapi yang jelas ada unsur Raden Anwas dan para keturunannya dalam
“Babad Demak Pesisiran”. Unsur ini tentu harus disangkutkan dengan fungsi
“Babad Demak Pesisiran” dalam masyarakat Jawa, yakni sebagai alat dakwah agama
Islam, untuk dapat ditafsirkan.
Selain sebagai alat
dakwah agama Islam, Babad Demak Pesisiran ini juga berfungsi sebagai penerusan
tradisi sastra Jawa Islam aliran Giri (Gresik). Hal tersebut didasarkan atas
pendapat yang mengatakan bahwa puisi tembang
macapat yang berjudul “Asmaradana”
adalah merupakan ciptaan Sunan Giri (Hardjowirogo, 1952; Kantami, 1973). Asmaradana
sendiri merupakan tembang yang menggambarkan cerita asmara. Asmaradana
ini lebih merujuk pada cinta asmara kepada Tuhan dan para nabi dan rasul-Nya,
bukan cinta asmara kepada sesama manusia.
Naskah “Babad Demak Pesisiran” masuk ke dalam klasifikasi naskah sakral. Hal ini ditinjau dari waktu pembuatannya yang jatuh du akhir bulan Ruwah dan dilanjutkan pada bulan puasa. Hal ini jelas ditulis dalam manggala bahwa naskah itu mulai ditulis pada tanggal 24 bulan Ruwah. Kemudian penulisan naskah ini dilanjutkan pada bulan puasa, bulan suci bagi umat Islam. Dalam bulan inilah pengarang menulis “Babad Demak Pesisiran”. Naskah ini dianggap sakral oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Jawa yang tinggal di Gresik khususnya.
Struktur Babad
“Babad Demak Pesisiran”
ditulis dalam beberapa bab. Masing-masing bab tidak diberi judul. Bab atau
bagian itu merupakan satu pupuh tembang
macapat. Kecuali Bab (bagian 1, pupuh bab-bab yang lain diberi nama).
Alur atau plot adalah
hubungan sebab akibat yang terdapat antara peristiwa dalam suatu cerita. Cerita
yang terkandung dalam “Babad Demak Pesisiran” adalah cerita sejarah. Penuturan
peristiwa sejarah tentu berbeda dengan penuturan peristiwa biasa. Penuturan
peristowa sejarah lebih menitikberatkan pada urutan daftar raja-raja atau
tokoh-tokoh beserta keluarganya. Untuk itu, penulis babad memilih pola alur
tertentu. Pola alur yang dipilih oleh penulis “Babad Demak Pesisiran” adalah
pola alur maju, yakni cara berceriya
yang berurutan dari awal hingga akhir. Pola alur maju ini ditandai dengan
penggunaan kata-kata apaputera (berputra),
peputera (berputera), asesiwi (berputera), atau asesunu (berputera), sesunu (berputera), apalakrama (kawin), kambil
mantu (diambil menantu), dinunung (berada),
wanten (ada), winarni (diceritakan), kocap (diceritakan),
kocapa (tercerita), genti (ganti), sigegen (berhentu untuk ganti ke cerita yang lain), winunus malih (dikatakan lagi), kocapa malih (diceritakan lagi), kuneng (adapun), dan lain-lain.
Kesimpulan paling ringkas mengenai babak alur dalam “Babad Demak Pesisiran” adalah adanya amanat utama dalam naskah yang berupa (1) mengajak orang-orang kafir memeluk agama Islam; dan (2) memberi wejangan tentang ngelmu agama Islam. Untuk amanat inilah semua unsur dalam babad ini diabdikan dan disatukan.
Perwatakan
Naskah “Babad Demak
Pesisiran” berisikan silsilah raja-raja (Padjajaran dan Majapahit) dan silsilah
tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Banyak nama disebut dalam silsilah
tersebut.
Pelaku-pelaku yang menonjol perannya dalam babad dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) pelaku-pelaku sejarah yang dianggap sebagai orang kafir (penyembah berhala) dan (b) pelaku-pelaku sejarah yang beragama Islam. Tokoh-tokoh pengemban amanat yang disebutkan diantaranya adalah Ibrahim Asmara (penyebar agama Islam di negara Cempa), Molana Eshaq (penyebar agama Islam di Banyuwangi), Raden Rahmat (putra Ibrahim Asmara yang kemudian terkenal sebagai Sunan Ngampel Denta), Raden Paku (putra Molana Eshaq yang kemudian terkenal sebagai Sunan Giri), Raden Patah (yang kemudian terkenal sebagai Sunan Demak yang juga dikenal sebagai Raja Demak).
Struktur Puisi Naskah
Dalam Bab II, Subbab 5,
diterangkan bahwa naskah “Babad Demak Pesisiran” ditulis dalam tembang macapat. Tembang macapat yang
terdapat dalam naskah “Babad Demak Pesisiran” terdiri dari: “Asmaran”
(“Asmaradana”), “Peksi Nala” atau “Dhandhang” (“Dhandhanggula”), “Roning Kamal”
(“Sinom”), “Pangkur”, “Kinanthi” dan “Dhurma.”
Menurut buku Pathokaning Nyekaraken karangan R.
Hardjowirogo (1952), masing-masing
tembang macapat mempunyai aturan
tertentu, yaitu terikat pada guru
wilangan (jumlah wanda atau suku
kata tiap gatra), guru lagu (patokan bunyi pada tiap akhir
gatra), dan jumlah gatra pada tiap pada. Lengkapnya; angka Romawi menunjukkan gatra, angka Arab menunjukkan wanda,
aksara latin menunjukkan guru lagu (sajak
akhir).
Struktur tembang macapat naskah “Babad Demak
Pesisiran” sebagaimana terlihat pada kritikus aparatus, umumnya tidak mematuhi
aturan baku terutama pada jumlah wanda
(suku kata). Wanda tiap gatra sering lebih atau kurang. Yang
dipatuhi oleh penulis babad adalah jumlah gatra
setiap pada dan persajakan akhir. Hal
inipun kadang masih ditempeli dengan kesalahan-kesalahan.
Gatra
ketiga
tiap pada dari pupuh “Sinom” naskah “Babad Demak Pesisiran” selalu berakhir dengan
suara a. Hal ini menandakan bahwa
usia naskah ini lebih muda jika dibandingkan dengan naskah dari zaman
Kartasura. Pada zaman ini, seperti halnya yang terdapat pada Serat Menak Kartasura, gatra ketiga pada dari pupuh “Sinom” sering masih bersuara o (Poerbatjaraka, 1952 : 110).
Perwatakan masing-masing tembang pada umumnya tidak sesuai dengan
suasana peristiwa. Isi babad, yang sebagian besar berupa silsilah raja dan wali
itu dituturkan tanpa memperhatikan watak tembang.
Ciri seperti itu telah menjadi ciri umum sebab suasana peristiwa sulit
ditangkap penulis babad. Hanya tembang “Durma”
yang digunakan dalam puluh cocok
dengan suasananya, yaitu suasana perang.
---
Disclaimer: Paper from @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment