SERBA-SERBI PROFIL DAN SEJARAH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN BERBASIS HUKUM INDONESCHE COMPTABILITEITWET (ICW) DI INDONESIA: PT PELNI, INDUSTRI GULA NASIONAL DAN SEMARANG-STOOMTRAM MAATSCHAPPIJ
Grace Y. Bawole menuliskan tentang definisi perusahaan umum pada tulisan ilmiahnya menurut UU. No. 19 Tahun 2003, bahwa sebelum Perang Dunia II pada zaman Hindia Belanda telah dikenal Perusahaan Negara yang diatur oleh Indische Comptabiliteitwet Stb. 1925 No. 106 jo. 448 (ICW) dan perusahaan-perusahaan yang diatur oleh Indische Bedrijvenwet Stb. Tahun 1927 No. 419 (IBW), jauh sebelum perusahaan-perusahaan ICW dan IBW sudah dikenal seperti apa yang disebutkan dengan “Goverments Bedrijven” atau perusahaan-perusahaan pemerintah, misalnya Kroonordantie Stb. 1903 No. 402, De Reheling van Stb. 1923 No. 370, Stb. 1937 No. 279 tentang Perusahaan Garam. Secara singkatnya, ICW dan IBW ini adalah dua jenis pengaturan perusahaan yang menangani unit yang berbeda, yakni dengan ICW yang berisi tentang perundang-undangan yang mengatur tentang perusahaan-perusahaan swasta. Sementara IBW menjadi regulasi tertinggi yang berisikan aturan-aturan mengenai perusahaan milik pemerintah.
Melalui tulisan yang berjudul Serba-Serbi Profil dan Sejarah Perusahaan-Perusahaan Berbasis Hukum Indonesche Comptabiliteitwet (ICW) di Indonesia: PT PELNI, Industri Gula Nasional dan Semarang-Joana Maatschappij ini saya akan menyampaikan tentang profil-profil dan latarbelakang dinamika sejarah PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia), perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam industri gula di Indonesia dan sebuah jawatan kereta api, Semarang-Joana Maatschappij, yang merupakan beberapa contoh perusahaan berbasis perundang-undangan ICW. Dalam pengumpulan sumber-sumbernya yang masih sangat terbatas, saya tidak dapat menjamin tingkat validitas penulisan dengan prosentase tinggi. Namun untuk sekedar menjadi insight dan gambaran abstrak mengenai topik tersebut, tulisan ini saya rasa cukup membantu.
PT PELNI
Sebelum masuk kedalam pembahasan menganai sejarah atau profil dibalik Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), saya akan menuliskan latarbelakang perusahaan pendahulunya yang memiliki eksistensi pada zaman otorisasi Hindia Belanda, yakni perusahaan yang disebut Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM): diterjemahkan sebagai Perusahaan Pelayaran Kerajaan.
KPM didirikan pada 4 September 1888 di Amsterdam oleh Rotterdamsche Lloyd (RL) dan Stoomvaart Matschappij Nederland (SMN) dengan pusat kantor yang berfokus di gedung Scheepvaarthuis, Amsterdam, Belanda yang diperbaiki oleh seorang bangsawan yang bernama Prins Hendrikkade, semenjak awal pendiriannya hingga tahun 1916. Perusahaan ini mengoperasikan bisnisnya melalui beberapa armada kapal uap. Resmi melaksanakan pelayaran pertamanya di Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1891. Perusahaan ini memiliki fokus layanan rute pelayaran reguler, terjadwal bagi penumpang dan muatan kargo antar pulau yang kemudian dikenal secara populer sebagai pelayaran pos antar pulau.
Sejak tahun 1906 perusahaan ini mulai menjalankan ekspansi usaha dengan membuka rute-rute baru dari kepulauan di Hindia Belanda ke negara-negara lain dengan berbagai anak perusahaan di tahun 1908 dengan nama Java-Australie Lijn (JAL), yang melayani lintas Jawa-Australia, disusul pada tahun 1910 berdirilah Java-Siam Lijn (JSL), melayani lintas Jawa-Thailand, dan terakhir pada tahun 1915 Deli-Straits-China Lijn (DSCL), melayani lintas Medan-Laut Cina. Kejayaan perusahaan ini pernah dicapai ketika akhirnya menjadi perusahaan pelayaran terbesar kedua di dunia dan terpesat pertama di negeri Belanda, tetapi kemudian citranya tenggelam saat Perang Dunia II terjadi. Kemudian pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perusahaan ini menjadi salah satu yang diakuisisi kepemilikannya secara nasional serta diubah namanya menjadi PT PELNI.
PT PELNI berdiri ketika mulanya terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum tanggal 5 September 1950 yang berisi tentang pendirian Yayasan Pusat Kapal-kapal (PERPUSKA). PERPUSKA didirikan sebagai buntut dari penolakan pemerintah Belanda atas permintaan Indonesia untuk mengubah status maskapai pelayaran Belanda yang beroperasi di Indonesia, N.V. K.P.M. (Koninlijke Pakertvaart Matschappij) menjadi Perseroan Terbatas (PT). Pemerintah Indonesia juga menginginkan agar kapal-kapal KPM dalam menjalankan operasi pelayarannya di perairan Indonesia menggunakan bendera Merah Putih. Pemerintah Belanda dengan tegas menolak semua permintaan yang diajukan oleh pemerintah Indonesia.
Dengan modal awal berupa 8 unit kapal dengan total tonnage 4.800 DWT (death weight ton), PERPUSKA berlayar berdampingan dengan armada KPM yang telah berpengalaman lebih dari setengah abad. Persaingan benar-benar tidak seimbang saat itu, karena armada KPM selain telah berpengalaman, jumlah armadanya juga lebih banyak, belum lagi telah memiliki jaringan kontak-kontak monopoli.
Akhirnya pada 28 April 1952 Yayasan Perpuska resmi dibubarkan. Pada saat yang sama didirikanlah PT PELNI dengan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor M.2/1/2 tangal 28 Februari 1952 dan No. A.2/1/2 tanggal 19 April 1952, dengan Presiden Direktur Pertamanya diangkatlah R. Ma’moen Soemadipraja (1952-1955).
Delapan unit kapal milik Yayasan Perpuska diserahkan kepada PT PELNI sebagai modal awal. Karena dianggap tidak mencukup makan Bank Ekspor Impor menyediakan dana untuk pembelian kapal sebagai tambahan dan memesan 45 “coaster” dari Eropa Barat. Sambil menunggu datangnya coaster ini, PT PELNI mencarter kapal-kapal asing yang terdiri dari berbagai bendera. Langkah ini diambil untuk mengisi trayek-trayek yang ditinggalkan KPM. Setelah itu satu persatu kapal-kapal yang dicarter diganti dengan coaster yang datang dari Eropa. Armada itu kemudian ditambah lagi dengan kapal-kapal hasil rampasan perang dari Jepang.
Status PT PELNI mengalami dua kali perubahan. Pada tahun 1961 pemerintah menetapkan perubahan status dari Perusahaan Perseroan menjadi Perusahaan Negara (PN) dan dicantumkan dalam Lembaran Negara RI No. LN 1961. Kemudian pada tahun 1975 status perusahaan diubah dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) PELNI sesuai dengan Akte Pendirian No. 31 tanggal 30 Oktober 1975. Perubahan tersebut dicantumkan dalam Berita Negara RI No. 562-1976 dan Tambahan Berita Negara RI No. 60 tanggal 27 Juni 1976.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan usaha, perusahaan mengalami beberapa kali perubahan bentuk Badan Usaha. Pada tahun 1975 berbentuk Perseroan Sesuai Akte Pendirian Nomor 31 tanggal 30 Oktober 1975 dan Akte Perubahan Nomor 22 tanggal 4 Maret 1998 tentang Anggaran Dasar PT. Pelni yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 16 April 1999 Nomor 31 tambahan Berita Negara Nomor 2203.
VISI DAN MISI PT PELNI
Visi:
‘Menjadi perusahaan pelayaran yang tangguh dan memiliki jaringan nasional yang optimal’.
Misi:
- Mengelola dan mengambangkan angkutan laut guna menjamin aksesibilitas masyarakat untuk menunjang terwujudnya wawasan nusantara.
- Meningkatkan kontribusi pendapatan bagi Negara, karyawan serta berperan di dalam pembangunan lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat.
- Menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
INDUSTRI GULA NASIONAL
Munculnya industri gula di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perkebunan tebu pada masa kolonial. Pertanian perkebunan pertama kali dikembangkan di Jawa. Setelah tahun 1862, model pertanian yang sama juga mulai dikembangkan di luar Jawa. Namun, di wilayah luar Jawa pertanian perkebunan membutuhkan beberapa dekade untuk benar-benar berkembang.
Di Jawa sebagian besar pekerja perkebunan adalah pekerja di perkebunan tebu dan pabrik gula, sementara ada pula yang bekerja di perkebunan yang lebih kecil. Sistem produksi perkebunan berbeda apabila dibandingkan dengan usaha pertanian biasa. Sebagian besar perkebunan memproduksi komoditas ekspor, sehingga biasanya hanya difokuskan untuk memproduksi satu komoditas. Kenaikan dan penurunan produksinya cepat karena dipengaruhi perubahan pasar internasional. Untuk dapat bersaing dengan pasar internasional, maka perkebunan terfokus pada laba bersih dan peningkatan kualitas produksi melalui berbagai penelitian.
Sementara rumah tangga pertanian biasanya memproduksi lebih dari satu jenis varian tanaman kebutuhan pokok. Meskipun demikian seiring perkembangan kapitalisme modern, rumah tangga pertanian juga menjual hasil produksinya ke pasar (biasanya domestik). Oleh sebab itu, perkembangan pertanian juga sangat ditentukan oleh perubahan mendasar struktur ekonomi (Eng, 1996: 210).
MELEJITNYA INDUSTRI GULA DI JAWA
Produksi gula di Jawa mengalami peningkatan pesat setelah diperkenalkannya sistem tanam paksa pada 1830 (Knight, 2013: 3). Menurut Vlekke (2016: 272), gula bersama dengan nila dan kopi menjadi komoditas ekspor utama pada masa ini. Melalui sistem tanam paksa, petani yang daerahnya cocok untuk menaman tebu diperintahkan untuk menanam tanaman tersebut.
Tebu-tebu itu kemudian dikirimkan dengan harga yang telah ditentukan kepada pemborong kolonial yang akan memproses tebu itu menjadi gula untuk diekspor. Selain dijual kepada pemborong kolonial, tebu itu juga dijual kepada pabrik gula swasta (Eng, 1996: 212).
Meskipun sistem tanam paksa berhenti pada 1870, namun mayoritas pabrik gula tetap beroperasi sebagai usaha swasta (Lindblad, 1989: 13). Kini pabrik gula tidak hanya dikelola oleh orang-orang Belanda tetapi juga oleh orang Cina.
Menurut Pierre van der Eng (1996: 214), pada masa ini kebanyakan pabrik menggunakan kepala desa sebagai perantara. Kepala desa bertanggungjawab atas lahan dan suplai tenaga kerja untuk produksi tebu. Praktek ini menciptakan kesempatan penyalahgunaan wewenang, karena pabrik dapat menyuap kepala desa untuk memperoleh lahan pertanian yang menguntungkan.
Sebenarnya praktek ini tidak hanya dilaksanakan dalam produksi gula, tetapi juga di komoditas lain seperti karet. Tentu masalah ini menjadi fokus berkelanjutan administrator sipil dan pemerintah. Beberapa peraturan legislasi pun dikeluarkan untuk melindungi petani melalui sistem pendataan, namun tetap saja perusahaan gula melanjutkan praktek suap kepada kepala desa.
Selama periode setelah berakhirnya tanam paksa, lahan yang digunakan untuk perkebunan gula mengalami peningkatan secara bertahap. Antara tahun 1880-1890 jumlah area yang digunakan untuk tebu hanya sekitar 3%. Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah area itu selalu mengalami kenaikan konsisten seiring dengan dukungan teknologi.
Pada dekade ini, tiga stasiun penelitian didirikan untuk mengadakan penelitian yang dapat meningkatkan kualitas jenis tebu dan metode perkebunan (Metcalf, 1952: 52). Kenaikan jumlah area tersebut mencapai puncaknya pada periode 1929-1931 dengan 6% area gula dari seluruh lahan irigasi.
Setengah dari total tanah itu disewa langsung dari para petani, sementara sisanya diperoleh melalui kesepakatan dengan penguasa lokal di Yogyakarta dan Surakarta.
Kenaikan jumlah area yang digunakan untuk budidaya tebu seiring dengan peningkatan ekspor gula di pasar global. Pada akhir 1890an, Amerika Serikat menjadi pasar penting bagi ekspor gula di Jawa. Kondisi ini memungkinkan terjadi menyusul diberhentikannya pasokan ekspor gula Kuba oleh Spanyol ke Amerika Serikat.
Memasuki abad ke-20 tepatnya pada periode tahun 1900-1930, Cina, Jepang, Hongkong, dan India menjadi tujuan utama ekspor gula Indonesia yang pertumbuhannya begitu cepat. Pertumbuhan pesat industri gula Jawa tidak dapat dilepaskan dari penggunaan teknologi terkini untuk meingkatkan hasil produksi. Pada tahun 1900, Jawa telah memiliki teknologi yang sangat maju dan terintegrasi dengan ekonomi luar. Kemajuan teknologi dari revolusi industri telah diaplikasikan untuk membentuk jaringan transportasi (biasanya menggunakan kereta lori) dan komunikasi pabrik gula (Dick, 2002: 17). Dengan pengaplikasian teknologi ini, distribusi dan pengolahan gula pun semakin efektif.
Jalur kereta lori untuk mengangkut tebu ke pabrik gula
Ekspansi masif dari ekspor gula Jawa hanya terkendala dari kurangnya ruang pengiriman pada 1917-198, sehingga perusahaan gula terpaksa menjual gula dengan harga murah. Untuk menghindari masalah ini, para produsen gula membentuk Asosiasi Pabrik Gula Jawa sebagai perwakilan dari 80% produsen gula di Jawa.
Dampak produksi gula terhadap ekonomi pedesaan cukup siginifikan khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Timur yang menjadi wilayah utama produksi gula (Metcalf, 1952:10). Setidaknya ada empat manfaat dari kehadiran pabrik gula ini: (1).Gaji untuk pekerja; (2). Pembayaran untuk lahan yang disewa; (3). Sewa untuk kendaraan yang disewa dan pembayaran untuk suplai material; (4). Meningkatnya daya beli pekerja perkebunan (Eng, 1996: 218).
AKHIR YANG TRAGIS
Industri gula Jawa mulai mengalami kemunduran karena krisis malaise yang mulai terjadi 1929-1939. Sebagai salah satu industri besar dunia, pabrik gula di Jawa menjadi salah satu yang terdampak. Nasib gula Jawa di pasar dunia pun semakin menyedihkan, menyusul negara-negara yang dulunya menjadi tujuan ekspor gula seperti Cina dan India, mulai memproduksi gula secara mandiri.
Meskipun krisis malaise secara umum berakhir tahun 1939, namun industri gula sulit untuk bangkit kembali menyusul pendudukan Jepang pada tahun 1942. Pada masa ini produksi gula juga mengalami kemunduran drastis, karena gula-gula tersebut tidak bisa dieskpor (Eng, 1996: 224).
Peningkatan produksi baru mulai terjadi pada tahun 1955 bersamaan dengan meningkatnya permintaan domestik. Akan tetapi perusahaan gula dihadapkan pada kesulitan untuk melakukan rekonstruksi dan mengoperasikan pabrik selama dekade tersebut. Salah satu penyebab utamanya adalah terbatasnya alokasi untuk melakukan impor onderdil (onderdil yang dulu rusak atau dicuri oleh Jepang) atau pupuk.
Kondisi ini diperparah dengan jatuhnya ekspor gula selama selama dekade 1950an. Penurunan drastis ini menyebabkan gula Jawa benar-benar kehilangan mangsa pasarnya di perdagangan dunia.
Untuk membangkitkan gula Indonesia di pasar dunia, Pemerintah Indonesia melaksanakan beberapa program untuk meningkatkan lagi produksi dan ekspor gula di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan program yang diberi nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI bertujuan untuk menghapuskan sistem persewaan lahan untuk pabrik secara menyeluruh dan untuk mengorganisasi seluruh petani gula ke dalam satu sistem. Kurang lebih seperti nasionalisasi secara menyeluruh.
Salah satu perbedaan antara sistem pertanian tebu di Jawa dan negara-negara lain adalah biaya pengelolaan lahan irigasi di Jawa relatif yang tinggi. Oleh sebab itu, tebu harus diproduksi di Jawa dengan hasil tinggi agar menguntungkan di lahan irigasi. Untuk mengatasi persoalan ini, salah satu program TRI adalah penyediaan modal dan teknologi padat karya kepada para petani tebu. Paket-paket kredit berbunga rendah yang dikelola oleh BRI memungkinkan para petani untuk membeli pupuk bersubsidi dan varietas tebu berkualitas dari pabrik-pabrik gula.
Pabrik-pabrik menyelenggarakan layanan khusus untuk memberi informasi kepada petani tentang teknik budidaya yang memadai. Sebagai imbalannya, petani yang berpartisipasi diwajibkan untuk memasok tebu mereka ke pabrik-pabrik gula. Mereka dibayar sesuai dengan jumlah dan kadar gula tebu yang dapat mereka jual ke pabrik dengan harga tetap.
Namun studi tentang operasi program TRI menunjukkan bahwa petani tebu seringkali tidak punya pilihan selain berpartisipasi dalam program ini. Mereka diwajibkan menanam dan memanen pada saat-saat tertentu, karena berdasarkan perencanaan produksi pabrik gula.
Perencanaan produksi juga menentukan kuota tebu yang harus ditanam petani di wilayah pabrik. Petani juga menerima harga rendah untuk tongkat mereka. Program TRI yang disokong oleh Bank Dunia memang diperuntukan untuk rehabilitasi dan perluasan kapasitas produksi pabrik-pabrik gula, tetapi efisiensi umum industri gula Indonesia tetap buruk.
Akan tetapi seluruh usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tidak bisa membangkitkan kembali geliat industri gula seperti layaknya masa kejayaan gula Jawa pada masa kolonial. Oleh sebab itu, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan bahwa produksi gula difokuskan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan bukan lagi sebagai komoditas ekspor utama. Sebuah akhir yang cukup tragis bagi industri gula di Indonesia.
SEMARANG-JOANA STOOMTRAM MAATSCHAPPIJ
De Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij, N.V. (SJS) merupakan salah satu perusahaan kereta api yang pada masa lalu mengoperasikan jalur kereta api sepanjang 417 km di sekitar Semarang dan wilayah Muria Raya, Jawa Tengah. Perusahaan ini mengelola jalur kereta api di Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, sebagian Blora, dan sebagian Tuban. Daerah ini adalah penghasil terbesar komoditas gula, kapuk, kayu jati, tras, dan bahan bangunan lainnya yang merupakan “tambang emas” angktan perusahaan SJS. Saat ini lahan SJS yang seluruhnya sudah nonaktif termasuk dalam Wilayah Aset IV Semarang. Perusahaan ini mengusung lebar sepur 1.067 mm, termasuk lintas Trem Semarang (Jurnatan-Bulu-Banjir Kanal dan Jurnatan-Jomblang).
Pembentukam SJS didasarkan kepada konsesi izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang diterbitkan pada tanggal 1 Desember 1879, yang memiliki tujuan untuk menghubungkan Semarang dengan Kudus dan Pati dengan moda kereta api. Perusahaan ini disahkan pada tanggal 28 September 1881, dan didirikan oleh tiga tokoh, yakni J.F. Dijkman, W. Walker, dan G.H. Clifford.
Direktur utama perusahaan ini adalah Mr. H.M.A Baron van Der Goes van Dirxland yang merangkap pula menjadi direktur Oost-Java Stoomtram Maatschappij sejak 7 Juni 1888. Dalam menjalankan perusahaannya, ia didampingi oleh seorang sekretaris dewan bernama C.L.J. Martens yang mengabdi sejak November 1881 sampai April 1886. Pada tanggal 29 Januari 1890, Baron van Der Goes van Dirxland meninggal dunia.
Untuk menunjang operasional, SJS mempunyai stasiun besar, yaitu Stasiun Jurnatan (memiliki nama lain Semarang-Centraal atau Djoernatan). Bangunan stasiun ini berupa halte kecil yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah stasiun besar pada tahun 1913. Stasiun ini telah dinonaktifkan sejak 1974, tetapi tidak tercatat dalam daftar nama stasiun kereta api di Indonesia tahun 1950.
Dalam gedenkboek (buku peringatan) SJS, perusahaan ini pernah berpatungan dengan Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij.
PASCA KEMERDEKAAN DAN PENUTUPAN
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1959. Isinya antara lain menasionalisasi seluruh jalur kereta api dan trem uap yang dahulu dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda, yang operasionalnya diserahkan kepada Djawatan Kereta Api (DKA).
Jalur kereta api SJS ini terus beroperasi di bawah bendera DKA, PNKA, hingga masa-masa emas PJKA pada tahun 1970-an. Walaupun demikian, ternyata jalur ini terus berguguran. Pada tahun 1975 jalur Kudus–Bakalan dan Juwana–Tayu ditutup. Kemudian disusul tahun 1984, Cepu Kota–Rembang ditutup. Tahun 1986, jalur Kemijen–Rembang dan Purwodadi–Ngemplak ditutup. Blora–Demak dan Wirosari–Kradenan ditutup pada tahun 1987. Akhirnya, jalur terakhir SJS, Rembang–Jatirogo, ditutup pada tahun 1989.
Tetapi perlu dicatat bahwa dalam catatan dan foto yang dibuat dan dipotret oleh Michiel van Ballegoijen de Jong dalam bukunya yang berjudul Spoorwegstations op Java, ternyata walau jalur-jalur tersebut sudah ditutup, tetapi rel-relnya belum dibongkar. sebelum akhirnya dibongkar seluruhnya pada tahun 1990, ditandai dengan penutupan jalur Rembang–Blora dan Wirosari–Kradenan. Tidak ada reaktivasi untuk jalur ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sejarah Berdirinya PT. PELNI / zonapencarian.blogspot.com. 12 Agustus 2010. Diakses pada Minggu, 29 Maret 2020, 21.55.
Dick, Howard. “State, Nation-State and National Economy” dalam Dick, Howard dkk. The Emergence of a National Economy. Honolulu: University of Hawai Press, 2002.
Eng, Pierre van der. Agricultural Growth in Indonesia since 1880. New York: ST. Martin’s Press, 1996.
Knight, G Roger. Sugar, Steam and Steel :The Industrial Project in Colonial Java, 1830-1885. South Australia: University of Adelaide Press, 2014.
Lindblad, J Thomas. “Economic Aspects of the Dutch Expansion in Indonesia, 1870-1914”. Modern Asian Studies, Vol. 23, No. 1, 1989.
Metcalf, John E. The Agricultural Economy of Indonesia. Washington: US Departement of Agriculture, 1952.
Vlekke, Bernard. Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
Reitsma, S. A. (1920). Indische spoorweg-politiek. Landsdrukkerij.
de Jong, Michiel van Bellegoijen (1993). Spoorwegstations op Java.
Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij / Wikipedia.org. Diakses pada 29 Maret 2020, 23.15.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment