Menelusuri Jejak Konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Implikasinya terhadap Disintegrasi Berkelanjutan
Jika berbicara tentang konflik di Aceh, maka topik ini akan melayang pada tragedi masyarakat yang akan terjadi pada fase-fase berikutnya. Rakyat Aceh pertama kali berperang melawan penjajah Belanda di rentang tahun 1873-1903 dan kemudian melawan pemerintah pusat setelah Indonesia merdeka. Konflik ini begitu rumit dan memusingkan, dengan melibatkan pemberontakan Darul Islam, jika kita menarik lini masa pada tahun 1953-1962, dan juga Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, melibatkan diri menjadi aktor utama konflik di rentang tahun 1976-2005.
Ketidakharmonisan ini mengakibatkan sejumlah besar korban, diikuti kerusakan infrastruktur dan guncangan psikologis. Namun, setelag serangkaian upaya perdamaian yang gagal, pemerintah Indonesia dan GAM membuat langkah diplomatis yang bermartabat dengan menandatangani perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, yang kemudian mengakhiri konflik kekerasan selama tiga dekade.
Tantangan terbesar bagi GAM pasca perjanjian damai di Helsinki adalah mentransformasi dirinya dari gerakan pemberontak menjadi partai politik. Mengingat bahwa Perjanjian Perdamaian Helsinki mengharuskan GAM untuk membubarkan diri, mantan pemberontak GAM mengubah organisasi separatis mereka menjadi organisasi yang demokratis dan damai, yang disebut Partai Aceh. Sikap kamuflase itu menjadi sia-sia ketika kemudian dinamai kembali dengan Partai GAM (Partai Gerakan Aceh Merdeka). Lalu berubah lagi menjadi Gerakan Aceh Mandiri. Partai yang didirikan pada Juni 2007 di Banda Aceh ini, sebagian dikelola oleh mantan pemimpin gerakan kemerdekaan. Misalnya Muzakkir Manaf, mantan komandan tertinggi Angkatan Bersenjata Nasional Aceh (Tentara Nasional Aceh/TNA), sayap militer GAM, terpilih menjadi ketua partai setelah menjabat sebagai wakil gubernur provinsi.
Mengizinkan anggota GAM untuk bersaing memperebutkan kekuasaan politik di provinsi tersebut (yang sepenuhnya independen dari partai-partai politik Indonesia yang ada) adalah salah satu bagian penting dari perjanjian perdamaian. Oleh karena itu, para pejuang ini menemukan kembali diri mereka sebagai politisi, administrator, pengusaha, sampai kontraktor. Transformasi ini disokong oleh kemenangan kandidat kunci yang berafiliasi dengan Partai Aceh, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, dalam pemilihan provinsi di tahun 2006 dan 2009 secara berturut-turut; kandidat lain yang dicalonkan oleh partai dipilih sebagai walikota kabupaten Aceh, meliputi Aceh Jaya, Sabang, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Barat, dan Aceh Selatan (Edward Aspirall, 2009). Selain itu, partai mengumpulkan 33 kursi (44%) dari 69 kursi yang tersedia di Parlemen Aceh (DPR Aceh).
Meskipun perdamaian telah dicapai dan masyarakat Aceh saat ini telah kembali ke kehidupan yang lebih normal pasca Perjanjian Perdamaian Helsinki 2005, tingkat kekerasan di tetap tinggi (Patrick Barron, 2007). Adanya perjanjian damai tidak secara otomatis memblokade potensi konflik lebih lanjut. Periode transisi di Aceh telah menghasilkan arena sosial baru untuk kompetisi dan menciptakan pola-pola konflik tertentu. Konflik-konflik yang terangkum ini sebenarnya apa yang disebut sebagai cikal-bakal eksistensi upaya disintegrasi nasional yang kemungkinan akan terus ada. Cepat atau lambat, jika tidak ada yang pernah meneliti dan mempublikasi ancaman semacam ini, separatisme daerah dapat benar-benar terjadi. Ditambah memang sedikit sulit untuk mengendus dan secara eksplisit membongkar upaya kepentingan politik laten ini, karena terlalu banyak hubungan kepentingan yang rumit. Tulisan ini berusaha mencari; apa pola umum konflik yang muncul pada periode pasca Perjanjian Helsinki? Apa akar penyebab masing-masing pola konflik? Dan siapa saja aktor yang terlibat dalam setiap pola konflik? Dan apa yang menjadi implikasi pola konflik terhadap kegentingan disintegrasi?
Gerakan Aceh Merdeka: Kemunculan, Kepemimpinan, dan Kebangkitan
GAM terbentuk setelah dikeluarkannya “Deklarasi Kemerdekaan Aceh-Sumatra” pada Desember 1976. Gerakan ini dikenal secara internasional sebagai ASNLF (National Liberation Front of Acheh-Sumatra). GAM dimulai ketika “bapak pendiri” gerakan, Teungku Hasan di Tiro, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Seperti rakyat Aceh lainnya, Tiro juga merupakan pendukung bangsa Indonesia dan memimpikan sebuah federasi Indonesia (Jhon Martinkus, 2004). Tiro pindah ke New York, dimana ia bekerja paruh waktu dalam misi Indonesia di PBB. Namun, ia meninggalkan jabatannya untuk mendukung pemberontakan Darul Islam di Aceh tahun 1953 (Kirsten E. Schulze, 2007). Dia kemudian menjadi perwakilan luar negeri dari pemberontakan berbasis Islam. Keterlibatan aktif Tiro dalam pemberontakan Darul Islam telah membuatnya menjadi ancaman bagi pertahanan nasional yang kemudian berbuntut pada tragedi genosida.
Selain Tiro, kepemimpinan GAM terdiri dari para elit yang relative istimewa, termasuk Mukhtar J. Hasbi, Husaini M. Hasan, dan Zaini Abdullah. Kepemimpinan awal gerakan ini terutama terdiri dari para profesional muda dan intelektual seperti dokter, insinyur, politisi dan pengusaha. Banyak pengikutnya yang bertempur dalam Pemberontakan Darul Islam (1953-1962) (Kirsten E. Schulze, 2004). Pada awalnya, gerakan itu lemah dan kecil, mungkin melibatkan tidak kurang dari 200 anggota aktif yang melakukan pergerakan di pegunungan Aceh. Deklarasi kemerdekaan Aceh pada tahun 1976 mungkin hanya melibatkan 24 pemimpin. Selama periode ini, kegiatan Gam terutama berkaitan dengan produksi dan pendistribusian pamflet yang menguraikan tujuan dan cita-cita mereka. Sejak didirikan, sejumlah besar rakyat Aceh telah menjadi anggota Diaspora, atau merupakan pengungsi, di luar negeri dan berkontribusi untuk GAM. Misalnya pada tahun 2001, Diaspora Aceh diperkurakan mencapai antara 2.000 sampai 3.000 masyarakat di Malaysia dan 8.000 lainnya secara permanen bermukim di Thailand, Australia, Eropa dan Amerika Utara (Michael E. Ross, 2005).
Pemerintah Indonesia dengan cepat menanggapi deklarasi kemerdekaan Aceh dengan bersikap reaktif, melakukan penangkapan massal dan pembunuhan anggota GAM. Pada tahap ini, karena GAM kalah dari segi jumlah senjata dan anggota yang terbatas, sangat mudah bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menumpas mereka. Pada tahun 1981, hanya tersisa 10 dari 24 penandatangan asli dalam deklarasi kemerdekaan karena tewas dalam penumpasan. Tindakan keras pada tahun 1976 oleh militer Indonesia membuat anggota GAM bergerak di bawah tanah atau pindah ke luar negeri. Gerakan itu tampaknya telah dihancurkan pada 1982, dengan sebagian besar pemimpinnya tewas, di pengasingan maupun di penjara.
Saat tinggal di pengasingan, Tiro dan para pemimpin GAM lainnya melakukan konsolidasi dan memperkuat gerakan dengan mengirim anggotanya ke Libya untuk pelatihan militer, melobi masyarakat internasional, dan mengembangkan retorika, metode, dan strategi ideologis mereka (Jhon Martinkus, 2007). GAM kemudian mengalami kebangkitan besar pertama dengan muncul kembali pada tahun 1989.
Gerakan ini muncul kembali dengan jumlah tentara yang lebih layak dan memiliki strategi terorganisir karena pelatihan militer dan ideologi yang lebih kokoh setelah mendelegasikan orang-orangnya untuk belajar ke Libya. Para pejuang yang pulang ke Aceh dengan bersemangat memperbarui kegiatan mereka, melatih sukarelawan lokal, dan membeli peralatan militer yang lebih baik, dilaporkan dengan bantuan Libya (Kirsten E. Schulze, 2007). Dengan senjata yang dibeli dari tentara Indonesia atau kemudian, diambil dari pasukan yang ditangkap, para “lulusan Libya” memulai kampanye militer dengan menyerang pos-pos, kamp-kamp, dan instalasi-instalasi militer dan polisi yang terisolasi. Serangan sering dilakukan untuk menangkap senjata dari pasukan Indonesia dan untuk memberi sinyal kebangkitan gerakan.
Untuk menghadapi ancaman baru ini, pemerintah Indonesia dengan cepat merespons dengan mendeklarasikan Aceh seagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Klarifikasi ini dimaksudkan untuk melawan upaya GAM yang melakukan pembaharuan sumber daya dan berpotensi melakukan kekerasan. Pada akhir tahun 1991, pasukan Indonesia berhasil menghancurkan pemberontakan dan membunuh atau menangkap sebagian besar pemimpin dan komandan utamanya. Akhir 1996, pemerintahan Indonesia secara resmi mengumumkan bahwa operasi yang dilakukan telah secara efektif menghancurkan GAM. Dilaporkan bahwa selama DOM ditetapkan, banyak aktifitas interogasi, intimidasi, penangkapan dan pembunuhan warga sipil yang tidak pandang bulu dan misterius.
Meskipun mengalami kemunduran separah itu, GAM menikmati kebangkitan keduanya pada tahun 1999 dengan peningkatan keanggotaan yang drastic dan perluasan basis teritorialnya. Berakhirnya status DOM Aceh pada tahun 1998 (sebagian besar disebabkan oleh krisis moneter Asia tahun 1997) disertai dengan ditariknya pasukan Kopassus (Angkatan Bersenjata Khusus Indonesia). Rezim Orde Baru yang otoriter di Indonesia runtuh pada 1998 dan membawa suasana transisi. Periode transisi Indonesia yang ditandai dengan suasana politik yang relative terbuka, membawa peluang besar dan memungkinkan anggota GAM untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan mereka ke Jakarta, memperkuat tuntutan akan kemerdekaan dan konsolidasi kegiatan serta strategi mereka. Justru kemungkinan kebangkitan kedua GAM di tahun 1999 sangat besar mengingat kegagalan pemerintah pusat dalam mengatasi masalah ekonomi dan sosial di Aceh pada tahun 1998.
Dinamika Perjanjian Perdamaian Helsinki
Penandanganan Perjanjian Perdamaian Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang mengakhiri sekitar 32 tahun konflik bersenjata di Aceh, merupakan bagian penting dari sejarah GAM dan menawarkan secercah harapan bagi rakyat Aceh. Ekspresi yang beragam, seperti “solusi damai dengan martabat bagi semua” atau “kendaraan terbaik dan paling efektif untuk mewujudkan impian rakyat Aceh”, semuanya telah digunakan untuk menggambarkan perdamaian persetujuan.
Sejumlah cendekiawan terkemuka telah mengakui dampak tsunami Samudra Hindia pada tanggal 26 Desember 2004 terhadap keberhasilan kesepakatan perdamaian di Aceh. Bencana alam meratakan provinsi, mengakibatkan banyak korban dan kehancuran yang meluas. Aceh secara luas dikenal sebagai daerah terparah yang terkena tsunami. Dilaporkan bahwa antara 150.000 dari 200.000 warga Aceh meninggal atau hilang, sementara yang selamat sangat membutuhkan makanan, tempat tinggal, dan fasilitas medis dasar. Bencana alam juga membantu memunculkan Perjanjian Perdamaian Helsinkin 2005. Besarnya penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Aceh membantu GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk mengembalikan persitegangan mereka ke meja perundingan.
Mediasi terbuktu efektif dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai. Perjanjian damai yang bersejarah ini dimediasi oleh Crisis Management Institute. Secara khusus, Marti Ahtisaari, mantan perdana menteri Filandia dan direktur institut, ditunjuk sebagai mediator prinsip negosiasi damai. Ahtisaari yakin bahwa konflik Aceh harus diperlakukan sebagai konflik asimetris. Ia percaya bahwa pemerintahan Indonesia tidak akan pernah menerima permintaan GAM untuk kemerdekaan dan mendesak para negosiator GAM untuk menerima realitas. Akibatnya, alih-alih mendiskusikan tuntutan GAM akan kemerdekaan, Ahtisaari mengarahkan untuk terwujudnya otonomi khusus. Secara terbuka ia mendorong delegasi GAM untuk menerima gagasan otonomi khusus dan mengancam mereka dengan penarikan dukungan internasional bagi kekuatan militansi jika mereka tidak melakukannya. Kepemimpinan Ahtisaari yang kuat selama proses negosiasi memainkan peran penting dalam keberhasilan negosiasi damai secara keseluruhan.
Masalah kemerdekaan tidak disingkirkan sampai negosiasi mencapai babak ketiga. Selama lima putaran pembicaraan damai, pembentukan partai politik lokal untuk Aceh telah meraih sebagian fokus peserta. Delegasi GAM khususnya percaya bahwa pembentukan partai politik lokal di Aceh sangat penting karena partai nasional Indonesia sebagian besar dikendalikan dari Jakarta dan karenanya tidak dapat mewakili kepentingan mereka. Dipegang kuat oleh delegasi GAM bahwa pembentukan partai politik lokal tidak hanya akan melambangkan identitas mereka tetapi juga akan menjaga martabat mereka.
Sehubungan dengan upaya perdamaian yang gagal sebelumnya, Kesepakatan Damai Helsinki sering dianggap lebih komprehensif dan reflektif. Hal ini menawarkan solusi politik yang lebih komprehensif untuk konflik daripada hanya berkutat pada usaha penghentian kekerasan di lapangan. Misalnya, pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi mantan gerilyawan yang muncul sebagai elemen penting yang akhirnya ditangkap dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding / MoU). Selain itu, pembentukan otonomi khusus untuk Aceh di dalam Republik Indonesia juga menjadi poin penting, yang kemudian memungkinkan transformasi GAM menjadi partai politik.
Partai Aceh dan Eksistensi Pola Konflik Baru Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional
Kesepakatan Damai Helsinki menjadi suatu pengubah hidup yang luar biasa bagi para mantan pemberontak GAM. Melalui partai politik Aceh yang baru, sejumlah mantan pemberontak telah menduduki berbagai posisi politik dan sosial yang bergengsi dan strategis serta memenangkan banyak kontrak yang menguntungkan selama proses rekonstruksi pasca-konflik di provinsi tersebut. Lingkaran kekuasaan yang baru muncul dan struktur sosial provinsi tersebut telah memunculkan pertentangan internal dan konflik sosial. Secara khusus, pembentukan Partai Aceh oleh para mantan pemberontak secara khusus dipandang juga telah menimbulkann konflik di antara para mantan anggota GAM. Singkatnya, konflik di Aceh pasca-Helsinki mengikuti tiga pola umum. Pola pertama terkait dengan persaingan ekonomi dan kontestasi politik diantara para elit GAM sebelumnya. Yang kedua melibatkan pertentangan dan kemarahan antara mantan pejuang dan elit GAM. Pola ketiga melibatkan permusuhan etnis antar kelompok etnis di Aceh yang dominan, yang merupakan pendukung utama GAM, dan beragam kelompok etnis non-Aceh, yang umunya adalah penentang GAM.
Persaingan diantara para mantan elit GAM bermula dari kepentingan pribadi mereka. Persaingan dalam hal politik, hak istimewa, fasilitas, kegiatan bisnis dan kontrak dengan perusahaan-perusahaan besar milik negara telah menjadi sumber utama faksionalisme dan antagonism. Kepentingan dari elit GAM menjadi semakin nyata dalam lingkungan pasca konflik. Mereka sangat diuntungkan dari posisi mereka dalam struktur hierarki gerakan. Melalui Partai Aceh, para elit merebut posisi teratas di Provinsi Aceh dan menjadi aktif di berbagai sektor bisnis yang didukung oleh posisi dan koneksi politik yang baru mereka peroleh.
Konflik ini muncul ketika GAM berusaha membagi rampasan perang. Misalnya, Nur Djuli, perunding senior GAM di perundingan damai Helsinki, saat ini adalah ketua Badan Reintegrasi Aceh dank arena posisinya tersebut ia dapat berpenghasilan tinggi dan memiliki hak istimewa. Nurdin Abdur Rahman, negosiator GAM lainnya dan mantan pemimpin GAM di Malaysia dan Australia, saat ini bertindak sebagai direktur Aceh World Trade Center (AWTC). Muzakkir Manaf, mantan komandan tertinggi TNA (sayap bersenjata GAM), menjadi CEO Pulo Gadeng, suatu perusahaan kontraktor utama. Sofyan Dawood, mantan komandan TNA yang berkedudukan di Aceh Utara dan juru bicara GAM, telah memenangkan beberapa kontrak bernilai tinggi (43). Persaingan yang terbuka dan mementingkan diri sendiri ini telah menimbulkan konflik di antara para elit sebelumnya.
Selain itu, pengangkatan kandidat yang selaras dengan GAM yang mencalonkan diri dalam pemilihan eksekutif tingkat provinsi telag menyebabkan keretakan lebih lanjut di antara generasi-generasi elit GAM. Ahmad Humam Hamid, seorang akademisi lokal terkemuka yang berafiliasi dengan Partai Persatuan Pengembangan (lingkup se-Indonesia), mencalonkan diri untuk posisi eksekutif provinsi dengan Hasbi Abdullah, seorang rekan akademisi dan mantan tahanan politik. Pencalonan pria secara luas didukung oleh generasi GAM lama. Namun, komandan militer GAM dan anggota yang lebih muda menolak untuk mendukung mereka mengingat mereka telah memasuki koalisi dengan partai politik nasional, Partai Persatuan Pembangunan. Dua mantan elit GAM yang lain mengambil keuntungan dari pecah suara ini untuk mengumumkan niat mereka untuk memperebutkan posisi teratas. Politik yang mulai tercemar dan dibuat sebagai sarana untuk mencapai keuntungan pribadi ini justru menjadi lebih merusak integrasi nasional, ancaman laten yang menimbulkan keretakan yang lebih dahsyat efeknya. Mereka membenci dan mengkritisi birokrasi nasional di Jakarta, tetapi para elit-elit berkepentingan ini telah mengembangkan situasi kerumitan politik yang sama. Hal ini makin diperparah dengan potensi perpecahan sosial yang begitu gawat.
Pola konflik terakhir yang muncul oada periode pasca-Helsinki melibatkan pertentangan etnis dan permusuhan antara etnis Aceh, yang merupakan pendukung utama GAM, dan berbagai kelompok etnis minoritas, termasuk Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil dan kelompok etnis Simeulue, yang umumnya menentang GAM di masa lalu. Konflik ini terjadi sebelum penandatanganan perjanjian damai. Etnis Aceh memiliki presentase 80% dari total populasi di Aceh, terkonsentrasi di kabupaten-kabupaten yang terletak di wilayah pesisir utara provinsi.
Stratifikasi etnis di Aceh, yang juga kadang-kadang muncul di pulau-pulau Indonesia lainnya, telah menghasilkan situasi tertentu yang menempatkan satu kelompok etnis lebih istimewa dan diprioritaskan daripada yang lain. Perpecahan etnis di Aceh telah menciptakan beberapa prasangka dan dalam sebagian besar kasus, menghasilkan pertentangan dan permusuhan antara mayoritas etnis Aveh dan berbagai kelompok etnis minoritas. Ketegangan etnis telah ditransmisikan lintas generasi. Mereka juga telah memanifestasikan diri mereka dalam politik. Angka kasus diskriminasi ini sangat tinggi dan rupaya sudah cukup darurat. Sayangnya, masalah ini tidak terangkat cukup baik oleh media massa atau penelitian ilmiah. Liputan media tentang konflik Aceh menyembunyikan masalah ini dan menekankan kesan bahwa Aceh bukanlah suatu wilayah memiliki kultur yang membeda-bedakan kelompok etnis. Studi-studi di Aceh juga cenderung memandang orang Aceh sebagai kelompok tunggal orang yang tinggal di Provinsi Aceh, sehingga gagal mendeskripsikan struktur konflik etno-politik pada periode pasca-Helsinki.
Marginaslisasi sosio-politik ini telah membuat ernis minoritas terpuruk, dan sebagai konsekuensinya, membuat mereka menuntut pembentukan sub-unit administratif.
Gagasan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) terutama dirancang untuk mencakup Aceh tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subussalam dan Aceh Singkil, di mana etnis minoritas Gayo, Alas, dan Singkil terkonsentrasi. Selain itu Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) termasuk Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Simeulue, dan Kabupaten Aceh Selatan, yang merupakan rumah bagi atnis minoritas lainnya. Meningkatnya permintaan akan partisi regional di Aceh bukanlah masalah yang sepele; ini memang merupakan tantangn serius bagi proses pencarian perdamaian berkelanjutan di kawasan ini. Tuntutan untuk ketentuan tersebut mengungkapkan permusuhan etnis secara horizontal—dan potensi konflik—antara mayoritas dan kelompok etnis minoritas.
Menyelesaikan konflik Aceh mengasilkan munculnya peluang perebutan kekuatan sosial dan politik baru dan persaingan yang tidak sehat demi kepentingan pribadi. Transformasi elir GAM menjadi elit administratif, politik dan sektor swasta telah menciptakan lingkaran kekuasaan baru di Aceh, yang menempatkan mantan pemimpin GAM di pusatnya. Lingkaran kekuasaan baru ini memungkinkan tidak hanya distribusi imbalan ekonomi dan politik di antara anggota GAM tetapi juga memunculkan pola konflik baru pada periode pasca-Helsinki. Mencapai kesepakatan damai memang tidak secara otomatis akan menghilangkan semua bentuk konflik, bukannya mengakhiri konflik lama, justru menandai titik awal dari pola konflik baru. Konflik semacam itu sangat berpotensi sebagai sumber perpecahan, ancaman disintegrasi dan disharmoni jika tidak dikelola dengan baik oleh para pemimpin provinsi melalui kanal-kanal demokrasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Aspirall, Edward. 2009. Combatans to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh. Cornell Southeast Asia Program.
Barron, Patrick. 2007. Getting Reintegration Back on Track: Problems in Aceh and Priorities for Moving Forward. Harvard University.
Martinkus, Jhon. 2004. Indonesia’s Secret War in Aceh. Sydney: Random House Australia.
Ross, M. L. 2005. Recources and Rebellion in Aceh, Indonesia. Washington: The World Bank.
Schulze, K. E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Washington: East West Center.
Schulze, K. E. 2007. The Conflict in Aceh: Struggle Over Oil?. Ann Arbor: Pluto Press.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment