Kapal Samudraraksa adalah sebuah kapal yang memiliki nilai historis tinggi dan menjadi salah satu lambang keberanian serta ketangkatasan manusia Nusantara dalam mengarungi lautan. Kapal ini merupakan harta berharga yang disimpan dan dipamerkan dalam Museum Samudraraksa, sesuai dengan namanya. Meskipun dalam museum tidak hanya kapal ini saja yang diperagakan secara utuh, tetapi juga mengoleksi kapal-kapal atau jung yang pernah eksis dalam perlayaran Indonesia kuno.
Profil tentang Museum Samudraraksa sendiri adalah lokasinya yang masih berada pada kompleks yang sama dengan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Berdekatan pula dengan Museum Borobudur yang koleksinya terdiri atas foto-foto relief Karmawhibanga, terdapat pada kaki Candi Borobudur, yang saat ini tidak dapat dilihat lagi karena telah ditutup, juga batu-batu dari candi dan artefak-artefak lainnya yang ditemukan disekitar Candi Borobudur.
Hal yang membuat kapal Samudraraksa ini menakjubkan adalah track record-nya yang berhasil mengarungi Samudra Hindia, bertolak dari Jakarta sampai ke Accra, di negara Ghana, pada suatu ekpedisi pelayaran yang dilakukan pada tahun 2003-2004. Dengan fakta demikian, maka pantas jika kapal ini disebut sebagai suatu benda ‘napak tilas’ pelayaran, yang menunjukkan semangat ketangguhan armada perairan Nusantara.
Museum Samudraraksa
Museum Samudraraksa adalah museum bahari yang terletak hanya beberapa ratus meter sebelah utara Candi Borobudur, masih dalam kawasan taman purbakala Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini masuk pada kategori museum maritim dan museum arkeologi. Didirikan pada tahun 2005, tepatnya diresmikan pada 31 Agustus 2005 oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan RI, Prof Dr Alwi Shihab. Pembangunan museum ini ditujukan untuk mengingatkan kembali akan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang berhasil mengarungi Samudra Hindia hingga ke wilayah Afrika.
Museum ini memamerkan jalur perdagangan bahari antara Indonesia purba, Madagaskar dan pesisir Afrika Timur yang dijuluki “Jalur Kayumanis” (English: The Cinnamon Route). Adapun koleksi utama museum ini ialah rekonstruksi Kapal Borobudur dengan skala yang sesungguhnya. Kapal ini diperkirakan telah mengarungi lautan Hindia dari Jakarta sampai Accra, Ghana pada tahun 2003-2004 dalam Ekspedisi Kapal Borobudur.
Museum Samudraraksa memamerkan benda-benda budaya yang berhubungan dengan perkapalan dan pelayaran. Para pengunjung dapat melihat kapal-kapal zaman dahulu yang dibuat secara tradisional. Semuderaraksa sendiri diambil dari sebuah kapal yang di pamerkan dalam museum, yang sekaligus menjadi kapal ikonik dan menggambarkan betapa berani dan tangguh para nenek moyang Nusantara.
Selain kapal, ada juga barang-barang yang dipergunakan oleh para awak kapalnya sewaktu berlayar, seperti peralatan masak, buku, kaset, CD, hingga obat-obatan. Dan bangunan ketiga berfungsi sebagai kantor dan tempat penjualan suvenir.
Untuk perihal penataan interior di Museum Samudraraksa, secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni tempat informasi, pameran (yang berisi berbagai foto, poster, relief) serta ruangan pemutaran film. Museum ini membentuk semacam kompleks, di dalamnya terdapat beberapa bangunan, termasuk sebuah rumah joglo besar tempat kapal Samudraraksa dipamerkan.
Kapal Samudraraksa
Kapal Samudraraksa adalah bentuk konkret dari jenis kapal yang terukir dalam relief Candi Borobudur—sehingga untuk selanjutnya penyebutan Kapal Samudraraksa dan Kapal Borobudur mengarah pada benda yang sama.
Kapal ini dipamerkan dalam museum dengan ukuran kapal yang sesungguhnya, yakni ukuran 18,29 x 4,5 meter dan tinggi badan 2,25 meter. Kapal ini memiliki tiga bagian utama, yakni bagian kabin tempat tidur yang terletak di depan, ruang makan dan navigasi yang terletak di tengah, serta bagian buritan yang berada pada ekor kapal dan difungsikan untuk ruang kemudi dapur serta tempat mencuci piring. Kapal ini membentangkan dua layar kain, mengoperasikan dua buah kemudi dan memasang dua cadik di kanan-kiri kapal tiap kali berlayar.
Pada mulanya, Philip Baele berkunjung ke Candi Borobudur dan tertarik dengan relief kapal yang terdapat dalam dinding candi tersebut. Hal ini kemudian yang menjadi awal mula munculnya ide untuk upaya napak tilas jalur pelayaran yang pernah ditempuh Kapal Borobudur. Pada September 2002 Baele menghubungi Nick Burningham untuk merancang Kapal Borobudur yang layak mengarungi samudera, dan akhirnya proyek kapal ini dibuat oleh As’ad Abdullah sejak 19 Januari 2003 yang saat itu telah berumur 69 tahun. Pengerjaan ini dilakukan di Pulau Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep, Madura, dengan menggunakan teknologi tradisional.
Kapal ini mampu melaju dengan kecepatan 3-10 knot dengan kapasitas kapal 16 orang, 1500 liter air tawar, 900 kg beras, 2 upright sails, 1 ton kayu bakar serta 0,5 ton bahan makanan dan bumbu. Meskipun kapal ini dibuat dengan cara yang sangat tradisional dan terlihat tidak memiliki kemampuan lebih dari meluncur di permukaan laut dan menampung angin pada layarnya, namun sebenarnya kapal ini lebih modern. Tentu dengan pertimbangan modifikasi menyesuaikan kondisi alam saat ini. Beberapa fasilitas tersebut ialah; Global Positioning Satelite yang berfungsi untuk mengetahui posisi kapal, NavTex untuk menerima informasi cuaca, Echo Sounder untuk mendeteksi kedalaman air, Inmarsat Telephone Satelite untuk komunikasi di tengah lautan dan Lift Raft yang merupakan rakit apung sebanyak dua buah yang kemungkinan digunakan untuk sekoci penyelamatan.
Mei 2003, tim projek pelayaran mengadakan seleksi calon anak buah kapal, dan pada 25 Mei 2003 kapal ini mulai diterjunkan ke laut. Kemudian dilakukan upaya uji coba pelayaran rute Pulau Pangerungan Kecil - Benoa (Bali), dengan melalui perairan Banyuwangi. Uji coba tersebut terhitung berhasil sehinggal kapal ini langsung ‘mengirimkan diri’ ke Jakarta untuk dipamerkan dalam launching pra-pelayaran pada 2 Juli 2003. Pada 22 Juli 2003, Kapal Borobudur bertolak dari Benoa menuju Ancol, Jakarta, melewati Surabaya, Karimunjawa, dan Semarang. 15 Agustus 2003 Kapal Borobudur diberi nama Samudraraksa yang memiliki makna “Pelindung Lautan” sekaligus diberangkatkan ke Madagaskar oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pada 12 September 2003, Kapal Samudraraksa mencapai pelabuhan Victoria, Seychelles, dan melanjutkan perjalanan ke Madagaskar kembali pada 29 September 2003. Setelah itu kapal menepi di Mahajanga, pada 14 Oktober 2003, lalu menuju Cape Town, Afrika Selatan dengan catatan singgah di Richards Bay, Pelabuhan Durban dan Pelabuhan Elizabeth. Tiba di Cape Town pada tanggal 5 Januari 2004. Mengambil setengah bulan untuk singgah, perjalanan kapal dilanjutkan ke Ghana pada 3 Februari 2004 dengan catatan singgah di Jamestown Bay, ST. Helena.
Akhirnya pada 23 Februari 2004 Kapal Samudraraksa berhasil berlabuh di titik finish, Pelabuhan Tema, Accra, Ghana. Catatan pamungkas dari ekspedisi ini adalah penganugerahan Satya Lencana dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk pada awak kapal. Sementara itu, kapal yang berhasil bertahan dalam ekspedisi ini bersemayam dalam Museum Samudraraksa.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia atas keberhasilan ekspedisi tersebut. Bukan hanya menunjukkan betapa tangguh dan berani para nenek moyang bangsa ini melakukan pelayaran di zaman kuno—bahkan setelah Kapal Samudraraksa dalam ekspedisi inipun masih harus diakali dengan cara membawa perbekalan modern demi menunjang keberhasilan perjalanan—di sisi lain, jika dilihat secara historis, ekspedisi pelayaran ini merupakan salah satu momentum nostalgia sejarah yang sangat epik. Seolah-olah kita diperkenankan kembali menyadari bahwa laut adalah tempat pertama peradaban kita berkembang, dan bahwa laut dan pelayaran adalah nadi sejati bangsa Indonesia.
---
"Kapal Samudraraksa adalah ‘kapal kuno’ (English: ancient ship) yang berhasil ‘dihidupkan’ kembali pada zaman yang telah serba modern"
---
Penggagas ide ekspedisi ini adalah Philip Baele, yang sayang sekali, bukan berasal dari kewarganegaraan Indonesia sendiri—namun telah banyak bukti untuk menjelaskan bahwa pemerhati sejarah dan benda-benda warisan budaya akan lebih diperhatikan oleh pengamat dari bangsa Barat sejak dulu—dan berkatnya, Indonesia memiliki suatu kebanggaan tersendiri atas dilaksanakannya perjalanan pelayaran ini.
Pelayaran ini dilaksanakan atas pondasi keinginan untuk menelusuri The Cinnamon Route (Jalur Kayumanis) yang aktif pada abad ke-8 lalu. Projek ini nyatanya membuat bangkitnya suatu estimasi harapan dimana Indonesia kembali dapat berjaya di lautan. Sinkron dengan harapan yang digadang-gadang beberapa tahun belakangan ini yang menginginkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Penempatan kapal dalam kerangka kemuseuman adalah sarana yang tepat untuk mengenang kembali sejarah perjalanan pelayaran yang berhasil—meskipun kemudian masuk pada memori kontemporal karena sejarahnya dihelat pada abad 21—dan juga untuk mengingat kembali bukti fisik suatu perjalanan pelayaran yang begitu menakjubkan.
---
DAFTAR PUSTAKA
• Wikipedia.org. Diakses pada 13/09/2018 21.40 (WIB)
• Dolanmagelang.com. Diakses pada 13/09/2018 21.54 (WIB)
• Mengenang Kejayaan Bahari di Museum Kapal Samudraraksa, Goodnewsfromindonesia.id. Diakses pada 13/09/2018 22.57 (WIB)
• Situsbudaya.id. Diakses pada 18/09/2018 21.32 (WIB)
• Andipampang.wordpress.com. Diakses pada 18/09/2018 21.38 (WIB)
• Iyouth.blogspot.com. Diakses pada 18/09/2018 22.46 (WIB)
• Wisatadanbudaya.id. Diakses pada 18/09/2018 22.47 (WIB)
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment