Sebuah Resume: RUNTUHNYA ISTANA MATARAM, Karya Dr. H. J. De Graaf
Hal pertama yang dapat saya tangkap dari judul buku ini tentu saja menyoal bagaimana proses keruntuhan kerajaan besar di Jawa pada masa penguasaan VOC, Mataram, pada masa pemerintahan Mangkurat I. Keruntuhan kerajaan yang telah susah payah ia stabilkan adalah mimpi paling buruk untuknya.
Beberapa usaha telah ia lakukan untuk keberlangsungan hidup kerajaan dengan menyingkirkan beberapa pejabat tertentu dan mempromosikan tokoh-tokoh yang dianggapnya mudah ‘diatur’. Akan tetapi aktifitas pembangkangan yang menjurus pada pemberontakan tetap terjadi. Dan seperti kisah klasik keruntuhan suatu dinasti dalam sejarah, saat ditelisik lebih dalam, oknum yang melawan Mangkurat masihlah terhitung sebagai kerabat istana.
Setidaknya ada empat ancaman yang menyerang Mataram meskipun tidak hadir secara bersamaan. Koalisi-koalisi terjadi sesuai situasi, namun kekuatan VOC yang berniat mengekspansi dagang ditunjang dengan peralatan militer yang lebih canggih, telah berangsur-angsur melemahkan pengaruh Mataram di daerah pesisir. Ada pula pelarian politik dan petualang Makassar yang membuat para penguasa lokal tertekan.
Di Madura, Raden Trunajaya melakukan konsolidasi pasukan dan berhasil merebut beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Di Kediri, Pangeran Kajoran mengembangkan kerajaannya menjadi semakin kuat. Puncaknya adalah terhentinya serangan VOC ke Surabaya dan Madura yang hendak menghancurkan basis pertahanan Trunajaya. Pasukan Pangeran Kajoran dan pasukan Madura berhasil menusuk Mataram setelah melakukan long march dari Kediri.
Hal ini kemudian berimbas pada pembelotan beberapa penggede Mataram hingga benar-benar membuat Plered jatuh. Selain itu, peristiwa tersebut membuat Speelman galau, karena berada diluar antisipasinya.
"Bagaimana bisa ribuan pasukan Mataram tidak dapat memberantas serangan pemberontak, dan mengapa para Sunan lebih memilih mengungsi daripada ikut bertempur?"
Bahkan Mataram pun tidak mendelegasikan kekuasaannya kepada putra mahkotanya, Pangeran Adipati Anom. Kemudian terungkap fakta mengenai logika kekuasaan khas Jawa: bahwa pusat kekuasaan tidak harus diwariskan dan tidak perlu dipertahankan saat tanda-tanda kepergian sang raja sudah dekat. Dan benar, tak sampai beberapa tahun setelahnya, Mangkurat I mangkat, pada titik inilah kejatuhan Mataram kian jelas. VOC jadi lebih leluasa ‘mengatur’ dan ‘menentukan’. Di sisi lain, titik ini juga merupakan sebuah awal keterbukaan budaya keraton Jawa dan ‘diduga’ sekaligus semacam tonggak peralihan kekuasaan Mataram kepada VOC.
De Graaf menuliskan:
Pangeran muda yang dibahas pada bab pertama ini adalah Raden Mas Rahmad, yang kelak menjadi Mangkurat II. Ia merupakan putra ketiga dari Mangkurat I dengan ibunya yang dikenal sebagai Kanjeng Ratu Pangayun (Ratu Kulon) dan setelah meninggal dinamai Ratu Ageng. Ibunya meninggal ketika Raden Mas Rahmad berusia 40 hari, dan dikebumikan di Girilaya. Dalam catatan Belanda namanya ditulis juga dengan “prince des Rijcx” untuk mengganti sebutan “Raden Mas”, tahun 1659 kemudian diganti menjadi Pangeran Adipati Anom. Ia mendapatkan pendidikan khusus dari pihak ibunya.
Tahun 1652, ketika pangeran sudah siap untuk berumah tangga, ia hendak dijodohkan dengan seorang putri Sultan Banten untuk mengukuhkan kerja sama kedua belah pihak. Namun gagal karena syarat penyerahan seorang keluarga kerajaan Banten ke Mataram tidak menghasilkan kata sepakat.
Setahun kemudian, ada berita tentang rencana pernikahan dengan pihak Cirebon. Berita itu sampai ke Residen Barent Volsch. Pernikahan ini mengalami kegagalan juga karena lama tak kunjung mencapai kata sepakat, terlebih ada rencana pernikahan lain antara putri Sunan dengan pangeran Cirebon yang akan dihelat besar-besaran. Usut punya usut, ternyata pembatalan ini juga berasal dari si pangeran sendiri. Ia pernah berkesempatan menyambangi langsung kediaman Adipati Cirebon dan menyaksikan bagaimana sikap si putri Sultan itu.
Adipati Cirebon menitah putrinya untuk menyajikan sirih kepada sang pangeran. Pangeran mengakui bahwa putri itu begitu cantik, tetapi sayangnya agak pemarah dan membuatnya tidak bergairah. Ia pun menyampaikan ketidaktertarikannya tersebut kepada sang ayahanda. Setelahnya, ada banyak usaha lain dalam mencarikan sang putra mahkota pendamping hidup, tetapi kita tidak akan pernah tahu siapa akhirnya wanita yang menempati posisi tersebut karena kitab Sadjarah Dalem dengan sengaja tidak menjelaskan tentang hal ini.
Dari referensi Babad Sengkala maupun Babad Momana menyebutkan bahwa putra mahkota menikah dengan Rara Oyi, putri Mangunjaya yang kebenarannya diragukan. Di tahun 1657 bahkan disebutkan bahwa Pangeran Anom menikah secara resmi dengan seorang wanita (yang sayangnya tidak diketahui identitasnya), sekaligus menjelaskan bahwa perkawinannya dengan Rara Oyi bukan suatu perkawinan resmi.
Digambarkan dari beberapa literasi tulisan Valentijn, sang pangeran adalah seoarang yang suka bermain cinta. Dituliskan bahwa ia “keluyuran dan memperkosa wanita dan gadis muda” (Jonge, Opkomst, jil. VI). Watak tersebut sangat berbalik dengan sang kakak, Pangeran Singasari “yang merupakan pangeran sejati yang dicintai seluruh bangsa Jawa.”, seperti yang ditulis oleh Jacob Couper. Pangeran Anom agaknya memang seorang yang “berengsek” karena bahkan para pembesar istana dilarang memiliki istri yang cantik. Satu dari lima atau enam diantaranya pasti akan digauli oleh Anom sebelum dikembalikan kepada suaminya.
Meskipun akhirnya masih ada dua orang permaisuri dan enam selir yang masih ‘suci’, imej pangeran ini telah sepenuhnya buruk dan membuatnya tidak populer di tempatnya di Jepara. Speelman, pejabat tinggi VOC pun tak segan menyebutnya “sudah tenggelam dalam nafsu birahinya”. Speelman kemudian resah jika saat pemulihan tahta si pangeran ini masih tidak dapat mengontrol diri, sehingga ia melakukan pembicaraan empat mata dengan Raja.
Dari sumber Belanda yang tak terbantahkan, pada awal tahun 1659 Mangkurat I menjatuhi hukuman mati kepada bapak mertuanya, Pangeran Pekik beserta banyak anggota keluarganya. Pembunuhan ini agaknya dilakukan secara terang-terangan di depan mata atau di dekat mereka. Menurut surat Residen Evert Michielsen, pembunuhan itu dilakukan pada tanggal 21 Februari 1659. Ada dua orang kakak pangeran, seorang putranya, dua kemenakannya dan 60 orang diantara para panglimanya yang terbunuh. Alasan mengapa Mangkurat I begitu kejam menjatuhi hukuman pembantaian tersebut adalah terbongkarnya rencana Pangeran Pekik yang juga kejam, yakni percobaan pembunuhan terhadap raja yang sedang memerintah, merencanakannya dengan orang lain yang diberi hadiah. Jadi, apa yang dilakukan oleh Mangkurat I sama seperti “memberi karma” yang benar-benar berhasil dilakukan. Memang ada kejadian dimana Pangeran Pekik mengirimkan surat permohonan maaf ketika sekitar 600 perahu besar para penguasa pesisir sedang menuju Surabaya.
Namun ternyata hal ini berimplikasi pada peristiwa selanjutnya, karena Mangkurat I memperoleh kabar pembelotan tersebut dari Pangeran Giri, kemenakan Pangeran Surabaya (P. Pekik) yang telah lama membenci pamannya tersebut. Untuk itu berita rencana pembunuhan oleh Pangeran Pekik bisa saja hanya suatu fitnah sentimental. Pangeran Giri mendapat imbalan seorang istri yang cantik setelah membeberkan berita tersebut, dan kembali ke Giri hingga menjadi seorang yang dianggap keramat. Namun akhirnya hal tersebut diketahui oleh Pangeran Anom (bakal Mangkurat II) dan kemudian ia tumbuh menjadi sosok yang begitu membenci Panembahan Giri yang dalam persepsinya ikut andil dalam membunuh kakek dan para pamannya tercinta.
Paragraf selanjutnya kemudian menjelaskan beberapa perspektif dimana Pangeran Giri bukan sepunuhnya antagonis menurut cerita tutur. Ada dua penjelasan tentang bagaimana sebenarnya kematian Pangeran Pekik. Opsi pertama adalah cerita tentang ayam hutan putih betina yang bisa berkokok yang ditawarkan Pangeran Pekik kepada menantunya, mengingat menantunya ini memiliki hobi mengumpulkan hewan-hewan aneh, namun dianggap sebagai sindiran bermuatan politik oleh sang menantu, sehingga Pangeran Pekik harus menerima hukuman pepe (berjemur di panas matahari). Opsi kedua adalah tentang penculikan Rara Oyi, cucu Pekik yang menjadi bakal istri putra mahkota, karena sang putra mahkota telah jatuh cinta pada gadis ini.
Sang kakek berusaha keras menyuap Ngabei Wirareja dan istrinya untuk menjaga Rara Oyi agar tetap bersatu dengan putra mahkota. Hal ini adalah suatu kejahatan yang cukup fatal, karena kemudian Ngabei Wirareja serta istri dan anak-anaknya dibuang ke Ponorogo kemudian dibunuh. Opsi kedua ini agaknya lebih berkesinambungan dengan rencana pembunuhan yang dilakukan oleh Pangeran Pekik, sehingga alur cerita ini mengarah kepada pembalasan dendam Mangkurat I kepadanya. Para korban pembantaian tersebut dikebumikan di Banyusumurup dan Toyasumurup tahun 1578. Selanjutnya orang-orang yang melakukan kejahatan kepada raja dikuburkan di kompleks pemakaman ini.
Kematian Pangeran Pekik ini kemudian memiliki hubungan dengan matinya beberapa pembesar Mataram lainnya. Pertama, kematian Ngabei Wiraraja dan istrinya yang lebih dulu dibuang ke hutan angker Lodaya (Ponorogo, menurut Valentijn) dan dibunuh. Tetapi ada kemungkinan bahwa sebenarnya Ngabei Wirareja berkomplot dengan Pangeran Purbaya, bukan Pangeran Pekik.
Residen Jepara, Evert Michielsen, menerima berita bahwa seorang keluarga Pangeran Surabaya, Raden Sejanapura, terbunuh. Raden Sejanapura kabarnya memiliki kakak perempuan yang kawin dengan Sunan dan kemudian dengan Tumenggung Surabaya. Raja pun marah, ia kemudian memberhentikan dua orang pejabat tertinggi di istana Mataram. Konon penyebab kejatuhan mereka adalah gaya hidup mewah dari pakaian sampai kuda mereka, dan justifikasi mereka terlalu banyak memeras rakyat. Kepercayaan Sunan kepada para bawahannya di istana nampaknya begitu tipis dan lebih merasa banyak menerima kekecewaan yang semakin memperbesar prasangka buruknya kepada kalangan keluarganya sendiri.
Saking buruk prasangka itu, ia bahkan pernah menyurati Michielsen tertanggal 19 November 1659, bahwa ia tidak akan berhenti memberangus semua pejabat tinggi dan menggantikannya dengan para pengikutnya agar ‘nampak’ masih percaya pada keluarganya sendiri. Hal ini benar-benar ia lakukan, ketika ada empat pangeran yang hendak ia asingkan menghadap padanya dan memohon untuk segera dibunuh saja daripada hidup di luar Mataram. Namun tidak, Sunan tetap mengasingkan mereka ke suatu pulau tak berpohon dan berumput (Mesigit Watu) di daerah tepi Laut Kidul, agar mereka merasa depresi dan bunuh diri.
Sunan seperti dibutakan oleh kelanggengan kekuasaannya sendiri, sampai-sampai memecat lagi tiga orang penguasa dibawahnya, yakni yang diduga sebagai Raden Wirapura dari Tuban, Raden Wiraseraya, serta Pangeran Mangkubumi. Bisa dibayangkan betapa kacaunya situasi seluruh Mataram ketika itu. Michielsen bahkan menulis deskripsi yang merujuk kepada Sunan, “semoga pada suatu hari saat ia jenuh mengalirkan darah orang”. Kekhawatiran Sunan pun digambarkan bahwa “ia gemetar ketika daun berdesir di seluruh negerinya”, sehingga terlihat bagaimana parahnya tekanan mental yang di derita.
Persengkongkolan putra mahkota dengan Pangeran Purbaya terjadi pada rentang tahun 1660-1670. Hal ini terkait dengan niatnya yang ingin membalaskan dendam kepada Panembahan Giri, namun karena Sunan juga ikut mengambil andil atas peristiwa tersebut, maka putra mahkota tidak diberi wewenang dan mendapat kekangan. Putra mahkota kemudian membangkang. Usaha perlawanannya yang pertama adalah dengan mengirimkan utusan ke Batavia kemudian ke Banten pada tahun 1659 sambil membagikan hadiah dimana-mana.
Di Batavia, utusan itu menyampaikan hadiah atas nama Pangeran Adipati Anom dan meminta imbalan seekor kuda Persia kepada pemerintah Kompeni kala itu, namun pihak Kompeni menjanjikan pengiriman kuda Persia yang lebih bagus dari ekspektasi pangeran, yang ukurannya lebih besar dari kuda-kuda Jawa. Persimbolan kuda tersebut sebenarnya telah melambangkan pemberontakan kepada ayahandanya. Permusuhannya dengan Sunan diberitakan secara gamblang di bulan September 1660 dalam laporan Evert Michielsen, dan fakta bahwa Sunan menghendaki nyawa putranya sendiri.
Intrik ini semakin eksplisit ketika Sunan diberitakan telah membunuh lima orang panglima dibawah Tumenggung Pati, yang berafiliasi dengan putra mahkota untuk mengkudeta dirinya. Setelah itu Sunan “menutup diri” dan seolah mengurungi istananya sendiri, dan Sunan bahkan sampai pernah tidak keluar istana selama tiga minggu. Aktifitas-aktifitas keseharian di dalam keraton seperti berkuda di pacuan, permainan tombak pun tidak dihelat seperti biasa. Perubahan ini membuat kegegeran dalam diam di kalangan keraton, karena itu tandanya Sunan sudah benar-benar tidak percaya kepada orang-orang di istana.
Sebagai balasan atas rencana kudeta sang pangeran, Sunan melakukan pertumpahan darah dan melakukan usaha perlindungan diri. Adipati Anom masih selamat dari serangan itu, dan selanjutnya pun ia masih terbilang aman karena banyak pihak dari kerabat istana yang membela dirinya, sehingga Sunan tidak serta merta terbuka menyerang putranya. Pada suatu ketika (dari catatan Evert Michielsen bulan Oktober 1660), telah berlabuh di pantai Jepara dua pangeran, yakni Pangeran Puger dan Pangeran Purbaya. Sunan ingin membunuh keduanya karena berada di pihak putra mahkota, tetapi urung dilakukan mengingat kembali bagaimana reputasinya dan bagaimana jika ia benar-benar kehilangan dukungan dan berdiri sendiri.
Raja semakin insecure dengan prasangkanya dikelilingi musuh di istananya sendiri, sehingga dijelaskan ia kemudian melancarkan aksi-aksi pembunuhan melalui cara meracun daripada melakukannya secara eksplisit. Kondisi istana telah tidak sehat dan semakin kacau. 15 tahun sebelum Mataram hancur, orang-orang Belanda telah meramalkan bahwa dengan keadaan sangat tidak sehat itu, hidup Mataram lama-lama akan berakhir. Sunan sangat sensitif dengan kegiatan-kegiatan diluar istana, dan mengait-ngaitkannya dengan usaha pembelotan.
Kemudian ada fase pemberontakan kaum agama pada rentang tahun 1663-1664, yang sebenarnya bisa disebut sebagai persepsi yang terlalu jauh, karena hanya bertumpu pada ramalan seorang “yang disebut-sebut sebagai kiai Mataram” konon kerajaan akan mengalami krisis pangan, ladang-ladang tidak dapat menghasilkan apapun lantaran serbuan ribuan tikus yang menghancurkan pertanian. “Tikus-tikus” ini oleh Residen kemudian dianalogikan sebagai pejabat-pejabat yang dibenci oleh Sunan, sehingga muncul sebutan pemberontakan “kaum agama”. Tapi hal ini benar-benar terjadi ketika Raden Kajoran, seorang pembesar yang oleh generasi setelahnya mendapat julukan Ambalik (si pengkhianat), melakukan pemberontakan.
Selanjutnya buku ini menceritakan detil-detil kekejaman Sunan yang menurut catatan para petinggi Kompeni pada wakti itu seperti Michielsen sampai Speelman dan berita-berita yang dipublikasikan terstruktur, telah melakukan pembunuhan terdapat ratusan dayang-dayang istana tak bersalah yang ia kambing-hitamkan sebagai penyebab permaisurinya, Ratu Malang (Ratu Wetan atau juga dijuluki Nyai Mas Maling—yang artinya pencuri) meninggal. Tidak hanya pembunuhan terhadap dayang istana, yang memang pernah salah satu oknumnya bekerja sama dengan putra mahkota yang hendak diracun, tetapi juga membunuh para selirnya yang berjumlah puluhan itu dengan cara mengurung mereka tanpa diberi makan dan minum. Mereka harus saling memakan sesamanya sampai kemudian hanya tersisa seorang selir.
Selir itu kemudian dikubur hidup-hidup di dekat makam permaisurinya. Jiwa psikopat sang Sunan nyatanya kemudian berlanjut tiap kali pendampingnya meninggal, entah itu lalu ia lampiaskan dengan membunuh wanita-wanita yang dianggapnya lalai ataupun menguburnya hidup-hidup. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan Sunan itu kemudian membentuk berita aneh dimana Pangeran Purbaya menjadi sosok yang lebih bijaksana dalam menghadapi kegilaan sang kemenakan, sekalipun hubungannya dengan Sunan buruk.
Perlakuannya yang membabi buta terhadap kalangan wanita tersebut masih kemudian berdampak pada tercetusnya hukuman atas penculikan perawan, dilatar belakangi oleh ulah sang putra mahkota berafiliasi dengan Pangeran Purbaya, menculik seorang gadis perawan dari keturunan tinggi dan memasukkannya ke dalam istana tanpa sepengetahuan Sunan. Sang putra mahkota beserta kaki tangannya kemudian dijatuhi hukuman ‘diusir dari istana’ yang membuat kegegeran, meskipun hukuman tersebut tidak akan berlangsung lama.
Sunan telah mengupayakan untuk ‘membenahi’ putranya dengan menjodohkannya dengan putri Cirebon, tetapi tidak berhasil. Sunan kemudian menintah dua mentri kapendhak-nya untuk mencarikan putri sama cantiknya dengan putri Cirebon, dan akhirnya setelah melalui proses pencarian dan kriteria yang diberikan, mendapatkan seorang gadis yang digambarkan masih senang bermain bunga (usia 11) bernama Oyi, anak dari salah satu mentri Pangeran Pekik, Ngabei Mangunjaya.
Cerita ini terus berkesinambungan dan diceritakan dengan alur maju-mundur yang tidak begitu dapat langsung dipahami karena ganjalan dalam aspek kronologis. Namun hal yang begitu sentral untuk ditulis dalam resume ini salah satunya adalah mengenai peristiwa pengkhianatan dan kekalahan putra mahkota, Adipati Anom, dalam rentetan kejadian sepanjang Juli-Oktober 1676.
Situasi ini berawal dari dipukul mundurnya pasukan Sunan oleh lawannya, afiliasi antara Madura dengan Makassar. Pengkhianatan ini muncul dalam konteks, bahwa dalang yang menyulut peperangan dua kubu ini sebenarnya adalah Adipati Anom sendiri, karena dengan begitu ia akan mudah melemahkan kekuatan ayahnya dan mengambil alih kekuasaan Mataram. Nama-nama seperti Trunajaya (yang memimpin pihak Madura) serta awal mula datangnya campur tangan Makassar sampai pada terbentuknya hubungan penyatuan kekuatan dengan Madura untuk memberantas Mangkurat I ditulis secara cukup mendetil. Setelahnya Mataram mengalami desakan yang berlarut-larut, kondisi Mangkurat I sendiri yang sudah sakit keras, seiring pula dengan tampuk kekuasaan yang masih tetap ia genggam sendiri tanpa pernah berniat diberikan kepada sang putra, Adipati Anom.
Dalam bab akhirnya muncul interpretasi dari Speelman melalui catatan-catatan pribadinya semasa tahun-tahun akhirnya menjabat. Speelman menceritakan bagaimana rentetan perseteruannya dengan pihak Mataram dimana perjanjian terbentuk, namun tidak lantas disegerakan sebagaimana tanggungjawab yang harus dilakukan Mataram. Tanggal 16 Juni 1677, Speelman merencanakan pengiriman perutusan bersenjata ke ibu kota Mataram, supaya dengan atau tanpa persetujuan, kepala-kepala bendaharawan langsung berbicara kepada Sunan. Akan tetapi ia merasa tindakan tersebut sangat keterlaluan, kemudian ia mencari cara yang lebih terhormat untuk menghadapi pemerintahan Mataram yang semrawut.
Dari catatannya ia menulis, entah ia sendiri atau Saint Martin dan Couper, disertai 100 sampai 150 orang serdadu akan bergerak melalui Jepara menuju Mataram. Seandainya tidak, tidak ada lagi yang dapat dilakukan. Pasukan melalui darat kemudian akan kembali ke Surabaya. Ia mendeklarasi perang dengan banyak sekali pasukan, padahal nyatanya hampir setengahnya terdiri atas orang-orang Makassar dan Ambon. Dengan pasukan itu ia dapat bergerak melintasi Jawa menuju Batavia. Tidak ada aneksasi yang ia rencanakan terlaksana, karena kemudian muncul perintah pembatasan dari Pemerintah Kompeni tanggal 7 Juli 1677. Sementara itu, Mataram menghadapi kemelutnya sendiri, dimana keraton Sunan telah berhasil dibobol oleh gerakan kaum pemberontak.
Rentang Kronologi
1. Awal cerita kemunduran Mataram sebenarnya telah terlacak beberapa belas tahun sebelum masa kehancurannya di tahun 1677. Setidaknya 15 tahun sebelumnya, telah nampak bagaimana hubungan permusuhan Sunan (Mangkurat I) dengan sang putra mahkota, Adipati Anom, diketahui secara eksplisit bahkan sampai kepada titik dimana hal tersebut adalah pegunjingan umum berkonteks berat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Perangai buruk (dalam hal yang sangat ditekankan pada riwayat hidupnya dalam bukti-bukti sejarah, yakni suka bermain cinta) dan proses perkembangan putra mahkota (yang sedari usia muda telah ‘dicekoki’ kebencian terhadap Panembahan Giri) yang tidak maksimal dalam lingkungan yang sejak awal tidak sehat, menjadi awal dari konflik internal yang berbuntut panjang pada akhir eksistensi Mataram. Disini saya menangkap bahwa Adipati Anom adalah putra raja yang sejak awal ‘malangnya’ terdoktrin dengan hal-hal menyimpang, dihadapkan pada realitas istana ayahnya yang penuh dengan perseteruan dengan kerabat-kerabatnya. Ia seperti anak muda yang sejatinya tidak bersalah namun harus terjerumus ke dalam sentimentil dampak konflik keluarga.
3. Andaikan tampuk kepemimpinan Mangkurat I diserahkan kepada putranya, Adipati Anom, di saat-saat kerajaan mengalami krisis pra-kejatuhan yang rumit, masih ada kemungkinan untuk Mataram bertahan lebih lama, karena tampuk kekuasaan yang tidak diserahkan kepadanya ‘terlihat’ menjadi satu-satunya ganjalan baginya untuk berperan secara maksimal dalam pencaturan peperangan. Tapi tidak menjamin seberapa lama pula Mataram bertahan dibawah komandonya.
4. Pangeran Purbaya menjadi tokoh paling inkonsisten penggambaran karakternya dalam bukti-bukti literal yang dirangkum oleh De Graaf, yang menurut saya sudah cukup ‘habis-habisan’ mengeksplor dokumen-dokumen penting Kompeni sampai menelusuri babad-babad yang ditulis para pujangga di lingkup keraton. Salah satu hal yang cukup mengganggu adalah fakta bahwa beberapa surat kuno yang menjadi acuannya ‘sepertinya’ keliru dalam membedakan antara Pangeran Purbaya dengan Pangeran Surabaya (Pangeran Pekik).
5. Mangkurat I sebagai raja yang sebenarnya memiliki tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam membaca pergerakan tokoh-tokoh yang mengelilingi tahtanya, tetapi kemudian ia bertransformasi menjadi raja yang lalim ketika termakan oleh prasangka-prasangka buruknya dari hasil pengamatan situasi yang ia hadapi. Pada dasarnya ia adalah seorang yang bisa jadi berhati lembut sehingga sangat perasa, jadi ketika ia sudah sekali saja dikecewakan, akan susah untuk berpikir positif terhadap orang yang sama. Mungkin selama berjalannya waktu dan dari pengamatan saya yang membayangkan pula kondisi psikologisnya sebagai raja, Mangkurat I ini mengalami suatu tingkatan depresi yang begitu parah. Tak hanya membuat dirinya ‘hancur’ perlahan-lahan, tetapi juga berimbas pada merosotnya masa pemerintahan Mataram olehnya.
Tidak ada manusia yang mampu bertahan ketika tidak ada satupun pihak yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah (karena Mangkurat I sudah kehilangan kepercayaan kepada orang-orang di istana, hampir meliputi seluruh golongan hierarki yang ada di dalamnya, bahkan putranya sendiri yang jelas-jelas membelot sedari muda), maka tidaklah suatu hal yang aneh begitu ia melampiaskan kemarahannya dengan membunuhi para dayang, selir, panglima-panglima, pangeran-pangeran dan para pembesar istana lainnya sebagai wujud pelampiasan psikologis sekaligus sebagai bentuk pertahanan diri, sehingga seolah ia ‘gila tahta’.
Beberapa poin kritisi
De Graaf menuliskan alur cerita kejatuhan ini dengan model maju-mundur, mungkin disesuaikan dengan urutan dokumen yang satu persatu ia tafsirkan, atau memang ia sejak awal berniat begitu, dan atau memang sedari awal gaya penulisannya seperti itu. Alur maju-mundur ini memang mengesankan sensasi misterius melalui penggalan-penggalan peristiwa (sebagai hint atau pancingan kepada pembaca) yang ia janjikan dijelaskan di halaman-halaman setelahnya.
Sisi positif lainnya selain pancingan-pancingan yang cukup efektif itu, adalah bagaimana penginterpretasiannya cukup atau bahkan tergolong sangat mendetail (tidak heran mengapa De Graaf dijuluki sebagai Bapak Sejarah Jawa). Suatu missing-link dalam rentetan peristiwa satu dengan lainnya diterka olehnya secara mendalam, dan memang ada beberapa yang agaknya ‘benar’, karena logis dan berkesinambungan.
Selebihnya, ia menyajikan suatu cerita dengan bahasa yang cukup mudah dipahami, atau kalau tidak begitu, mungkin bisa saja para tim penerjemah buku ini yang sangat andal melakukan tugasnya.
---
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. J. De Graaf. 1987. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta, Percetakan PT Temprint.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment