Mengulas Aspek Teknologi Sosial dan Religi Periode Neolitik di Indonesia dan Peranannya dalam Menggerakkan Revolusi

"Masa Neolitik ditandai dengan adanya peningkatan teknologi pembuatan alat batu, yakni dengan dilakukannya pengupaman dan dianggap sebagai revolusi kebudayaan pada masa prasejarah"

Hal tersebut disebabkan oleh pola hidup kelompok manusia pendukungnya yang dianggap telah menetap dan mengusahakan aktivitas agrikultur. Manusia pendukung dari kebudayaan ini adalah ras Mongoloid dan menggunakan bahasa Austronesia sehingga masa Neolitik dapat dikatakan berhubungan erat dengan kebudayaan Austronesia. Teknologi yang spesifik dihasilkan pada masa ini adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Produk alat batu dan teknik pengupaman semacam ini belum ditemukan pada masa sebelumnya. Peralatan berbahan lain yang ditemukan di Sumatra bagian utara pada masa ini masih relatif sama dengan masa sebelumnya, yakni beruba lancipan dan spatula.

Pembuatan gerabahnya juga telah mengenal teknik tatap landas dan teknik pemberian slip pada gerabah, yaitu slip merah. Teknik pembuatan gerabah tersebut merupakan ciri khas dari budaya Austronesia. Temuan kapak lonjong di Situs Putri Pukes, Aceh Tengah dan di Pulau Weh serta temuan fragmen gerabah slip merah di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang menunjukkan perlunya peninjauan kembali asumsi bahwa persebaran kapak lonjong beserta gerabah poles merah hanya ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti yang diungkapkan oleh H. Kern (Soejono dan Leirissa 2007, 207-218; Soekmono 1998, 57-58).

Aspek sosial pada masa Neolitik di antaranya adalah dikenalnya manik-manik sebagai bekal kubur. Manik-manik tersebut berbahan cangkang moluska, gigi taring hewan, atau batuan. Manik-manik tersebut memiliki lubang untuk merangkai sehingga pembuatannya memerlukan teknologi tinggi. Aspek sosial lainnya berupa aktivitas agrikultur yang telah ada sejak 3000 SM di Taiwan melalui keberadaan serbuk sari padi, dan pembukaan hutan pedalaman untuk pertanian. Penelitian serbuk sari di dataran tinggi Jawa Barat dan Sumatra menunjukkan adanya pengolahan hutan yang cukup intensif untuk lahan pertanian yang berlangsung setidaknya pada 2000 SM dan awal masehi. 

Pada 1500 SM, terbentuklah koloni agraris yang menyebar dari Taiwan ke perbatasan barat Melanesia, kemudian dari Melanesia ke Polinesia Barat yang dibuktikan melalui kebudayaan Lopita pada 1600 SM hingga 1000 SM dan berakhir di wilayah Solomon bagian utara dan timur (Bellwood 2006, 107). Pertanian yang dilakukan kelompok pengusung budaya ini dapat dikatakan telah memiliki sistem yang baik dari masa sebelumnya, yaitu adanya areal khusus pertanian atau areal yang telah disiapkan, sistem pengairan, dan sistem penanaman dengan waktu yang berjangka. 

Selain jenis tanaman padi, jenis tanaman umbi-umbian telah ditanam juga. Pertanian yang sistematis di Asia Tenggara, diantaranya adalah pertanian padi dan jamawut. Jamawut telah dibudidayakan pada masa Yao-shao di Cina Tengah sekitar 5000 SM dan dibudidayakan pula di wilayah Asia Tenggara. Jamawut muncul sekitar 1000 SM di Uai Babo, Timor Timur. Padi merupakan tanaman budidaya pertama di kawasan yang memanjang dari India bagian timurlaut, sebelah utara Vietnam, hingga selatan Cina yang memiliki iklim muson. 

Bukti awal kemunculan padi diperoleh dari Situs Kiangsu dan Chekiang di Cina sekitar 3300 SM sampai 4000 SM, serta situs Non Nok Tha dan Ban Chiang di sebelah timurlaut Thailand yang didasarkan atas temuan sekam padi pada temper gerabah yang berasal dari sekitar 3500 SM (Soejono dan Leirissa 2009, 182). Adanya pertanian sistematis pada sektor agrikultur tersebut menunjukkan pola hidup yang menetap dan terorganisasi dengan baik dibandingkan masa sebelumnya.

Pembauran manusia membawa dampak bagi pembauran budaya, yakni religi. Pad masa awal Holosen, manusia dengan ras Australomelanesoid telah memiliki budaya penguburan dengan cara melipat si mati ketika dikuburkan ke dalam tanah. Eksistensi penguburan terlipat si Situs Loyang Mendale, Aceh Tengah diketahui melalui sisa kerangka menusia terlipat yang berangka tahun 7.400 ± 140 BP dan di Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang yang berangka tahun 4.860 BP (Wiradnyana 2011, 106). 

Penguburan berlipat oleh ras Australomelanesoid tidak hanya ditunjukkan oleh kerangka di Gua Niah saja, tetapi juga dari Situs Gua Gunung Runtuh, Perak, Malaysia yang berangka tahun sekitar 10.000 BP dan dikaitkan dengan kebudayaan Hoabinhian (Majid 2005, 15; Bellwood 2000, 121-124; Saidin 2012, 17). Penguburan terlipat dari ras Mongoloid pada masa Neolitik di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah yang berangka tahun 4.400 ± 120 BP dan 3.115 ± 30 BP memiliki konteks budaya Austronesia. Hal tersebut juga membuktikan adanya keberlanjutan religi dari awal Holosen hingga masa Neolitik.

Dalam sudut pandang revolusi, Goldthorpe (1975) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk revolusi teknologi dalam sejarah kehidupan manusia, yakni: Revolusi Neolitik yang terjadi 7000-5000 SM, dan Revolusi Industri yang terjadi sekitar tahun 1900-an. Keduanya dicirikan dengan adanya fenomena perkembangan teknologi secara drastis, sehingga benar-benar berdampak sangat besar dalam kehidupan dunia dan manusia yang ada di dalamnya. Suatu kesamaan menarik dari keduanya juga diikuti dengan ledakan julam penduduk yang sangat tajam. Revolusi Neolitik sendiri memiliki kasus dari 5 juta penduduk dunia bertambah menjadi 100 juta penduduk.

---

Daftar Pustaka:

Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Soejono, R.P. dan R.Z. Leirissa, eds. 2007. Zaman Prasejarah di Indonesia. Jilid I dari Sejarah Nasional Indonesia. Edisi pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Wiradnyana, Ketut dan Taufiqurrahman Setiawan. 2011. Gayo Merangkai Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Majid, Zuraina. 2005. “The Excavation and Analysis of The Perak Man Buried in Gua Gunung Runtuh, Lenggong, Perak.” Dalam The Perak Man and Other Prehistoric Skeletons of Malaysia, disunting oleh Zuraina Majid, 1-32. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.

Saidin, Mokhtar. 2012. From Stone Age to Early Civilization in Malaysia. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.

---

Disclaimer: @zhafiradnz personal archives. 

Contribute to: @kawula_historia


Comments