Seri Sejarah dalam Lini Abad ke XVII - XVIII: MAKASSAR #5

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.

Mereka kemudian bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.

Sumber asing dari catatan Tome Pires, tentang bagaimana kemampuan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Makasar (bugis). 

“Orang-orang Makasar telah berdagang sampai Malaka, Jawa, Borneo, Siam, Pahang".

Mereka benar-benar pelaut ulung.

Kerajaan Gowa Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. 

Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat.

Kota Makassar baik di bawah Gowa-Tallo atau VOC memiliki kesamaan dalam kegunaannya, geografinya, dan strukturnya. Kesamaan dalam susunan benteng, permukiman, dan pelabuhan mencerminkan berlanjutnya perdagangan dan pertahanan dalam perkembangan kota, meskipun terdapat perubahan sosial dan politik dimana orang Eropa menggantikan orang Makassar sebagai kelompok yang dominan.

Para pelaut terus diuntungkan dengan adanya tempat berlabuh yang terlindung yang disediakan oleh pulau-pulau di lepas pantai. Lokasi ini juga menyediakan akses yang mudah untuk hubungan dengan Maluku, Philipina bagian selatan, Jawa dengan pertolongan angin muson di Cina dan Selat Malaka. Tetapi sikap terhadap perdagangan cukup berbeda yakni pelabuhannya digunakan untuk menarik sebanyak mungkin pedagang asing dan untuk mendukung arus barang yang mengalir dari Indonesia bagian timur ke Cina dan Selat Malaka, sedangkan Belanda berkeinginan untuk mengatur dan membatasi arus tersebut.

Prioritas pertama bagi Belanda adalah untuk memantapkan pertahanan militer mereka, dan untuk melakukan hal ini mereka memanfaatkan sisa-sisa perbentengan Gowa. Bagi Gowa yang menghadapi ancaman VOC, ancaman selalu datang dari laut, sehingga garis perbentengannya (dari utara ke selatan; Tallo’, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Sombaopu, Panakkukang, Barombong) menghadap ke barat. Tetapi bagi Belanda yang kuat di laut, bahaya utama terletak di timur, di mana orang Bugis dan Makassar tinggal, sehingga Fort Rotterdam harus menghadap ke laut dan daratan.

VOC mencoba untuk menerapkan satu pola untuk permukiman di sebelah selatan Benteng, mengumpulkan kelompok-kelompok yang mereka anggap paling berbahaya sejauh mungkin dari benteng, dan mencoba menghindarkan berbagai kelompok untuk tinggal bercampur. Sistem pengelolaan perkotaan Belanda ini didasarkan pada satu anggapan bahwa setiap kelompok etnis yang tinggal bersamaan selalu dipimpin oleh kelompoknya. Jika kelompok-kelompok ini tinggal bersama dan bercampur, garis kewenangan pimpinan kelompok akan menjadi kacau dan ketidakamanan akan muncul. Penduduk-penduduk di kota-kota Asia juga dikelompokkan dalam kumpulan etnisnya, namun administrasi VOC yang lebih birokratis kemungkinan besar lebih kaku dalam usahanya untuk menerapkan pengelompokkan ini. Akibatnya, geografi etnis di Makassar di akhir abad ke-17 dan ke-18 merupakan hasil dari tarik menarik antara usaha VOC untuk memaksa tiap orang dalam kotak etnisnya, dengan kecenderungan masyarakat untuk bekerja, tinggal, dan berdagang bersama-sama. Sudah sejak tahun 1675 VOC memaksa semua orang Makassar, Bugis, dan sebagian besar orang India muslim yang tinggal di permukiman Vlaardingen untuk keluar dan memasuki kampung di utara. Peraturan untuk menjaga permukiman homogen secara etnis terus diulang sepanjang abad ke-18.

Di pertengahan abad ke-18, Chinessestraat merupakan jalan yang paling penting, baik untuk permukiman maupun untuk perdagangan. Di jalan ini terdapat sekitar 70 rumah, 60% dimiliki oleh orang Cina, 35% dimiliki orang Eropa. Terdapat kumpulan rumah-rumah bambu dinaungi penduduk campuran antara mestizo (orang Eropa yang lebih miskin dari umumnya ), Mardijkers, dan orang Indonesia. Rumah-rumah bambu ini terdapat 49 buah di tahun 1734, yang dikemudian hari disebut dengan “Nieuwe Negory” atau “Nieuwe Vlaardingen”. Mereka menduduki suatu daerah yang masih sebagian besar kebun dan tetap berada diluar pagar, mungkin hingga tembok bata baru selesai dibangun di tahun 1788. Tembok baru ini berada di Jalan Timor di sebelah selatan dan Jalan Indian di sebelah timur.

Kondisi di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 inilah yang ditunjukkan dalam Peta Reimer yang dicetak ulang dalam buku Andaya. Batas-batas kota yang sesungguhnya di sekitar abad ke-17 dan ke-18 jauh lebih kecil: batas utara di Jalan Sumba, dan batas timur di Jalan Jampea. Daerah di sebelah utara (Jalan Sumba dan Jalan Timor) dimaksudkan untuk tetap terbuka dengan pertimbangan kemiliteran, tapi rumah-rumah terus saja bertumbuhan di sepanjang Jalan Bali yang berada diluar pagar sampai tahun 1788, sama dengan keadaan di timur diantara Jalan Jampea dan Jalan Irian.

Sepanjang periode kolonial Belanda dari abad ke-17 sampai abad ke-20, satu pembedaan dilakukan antara daerah inti dan daerah pinggiran. Fort Rotterdam adalah inti, dibatasi oleh daerah-daerah yang dianggap sebagian besar dihuni oleh orang-orang Eropa dan muncul permukiman di dekat sisi selatan benteng yaitu Kampung Baru. Tingkat pengendalian Belanda tercermin dalam pangkat-pangkat administratif abad ke-18 dan ke-19. Daerah-daerah yang pada dasarnya dihuni orang Eropa (Vlaardingen dan Kampung Baru) dikelola oleh wijkmeesteren (kepala lingkungan), sedangkan kampung kota (Kampung Melayu dan Wajo) dan orang Cina berada di bawah Kapitan.

Di tahun 1819 terjadi konflik antara Kapitan Melayu dengan Kapitan atau Matoa Wajo tentang siapa yang berkuasa di Kampung Bandan dan Kampung Parang. Hal ini nampaknya mencerminkan tekanan orang Wajo terhadap orang peranakan dan orang Melayu ketika masyarakat Wajo memperluas daerahnya ke selatan ke dalam kota. Masalah ini nampaknya mencerminkan perubahan demografis. Perselisihan kewenangan atas kelompok etnis pernah terjadi di tahun 1705, di mana baik Kapitan Melayu dan Kapitan Cina mengklaim kewenangan atas kelompok Cina peranakan.

Di tahun 1792, Gubernur Beth mencatat bahwa tak ada lagi lahan tersisa untuk permukiman karena tingginya tingkat perpindahan masuk orang Bugis di abad ke-18. Sebagian besar orang Bugis tinggal di Ujung Tanah dan Bontoala, dan menjumpai sulitnya ruang untuk tinggal dan mustahilnya didapatkan tanah untuk bercocok tanam. Dengan alasan keamanan, VOC memindahkan mereka ke selatan tahun 1675. Sejak tahun 1683 satu permukiman campuran, Kampung Beru sudah terbentuk dekat dengan tembok benteng bagian selatan, dan di baratdaya terdapat kandang kuda. Daerah itu dikenal sebagai daerah dengan reputasi buruk bagi Belanda dan tetap menjadi pusat opium dan tempat minum hingga abad ke-19.

Di paruh kedua abad ke-18 lebih banyak lagi orang Eropa membangun rumah di Kampung Beru, meskipun rumahnya biasanya terbuat dari bambu dan bernilai rendah. Tahun 1719 daerah-daerah selatan Beru, Maluku, Dompo, dan Galesong sudah dimasukkan ke dalam batasan wilayah Makassar secara luas. Di tahun 1808 setelah kebakaran dan banjir, Gubernur Chasse membangun ulang Kampung Beru menjadi permukiman yang teratur dan karena Kampung Dompo terbawa banjir, ia membangunnya ulang lebih ke belakang menjauhi pantai dan menamakannya ulang sebagai Kampung Bessi. Di tahun 1872 ada 6 gelaran di selatan benteng: Beru, Maluku, Galesong, Bessi, Mariso, dan Sambung Jawa.

---

Disclaimer: @zhafiradnz personal archives. 

Contribute to: @kawula_historia


Comments