Seri Sejarah dalam Lini Abad XVII - XVIII: OVERVIEW PERDAGANGAN #1
Kontak maritim antara negara-negara Asia Tenggara dengan Cina dan India dapat dirunut ke belakang sejauh ribuan tahun, dan daya tarik utama wilayah ini adalah rempah-rempah Maluku, mineral, dan hasil laut maupun hutan. Sriwijaya memelihara hubungan yang erat dengan pedagang Arab dan India, sekaligus memperoleh sebagian besar kekayaannya dari hubungan eratnya dengan Cina. Di periode awal, para pedagang berlayar dari Semenanjung Arab hingga Cina, menetap di wilayah pelabuhan seperti Kanton.
Rempah-rempah membawa orang Eropa ke Asia, tepatnya ke Maluku. Portugis yang menaklukan Malaka di tahun 1511, sebagian besar fokusnya di abad ke-16 berada di Ambon, Banda, dan sampai tahun 1574 di Ternate. Kemudian mereka pergi ke Tidore ( 1578-1605 ) untuk sementara waktu. Di sebelah selatan, kehadiran mereka di Nusa Tenggara yang kaya akan kayu cendana ini dimulai sejak 1592 ketika mereka membuka satu basis di Solor di sebelah timur Flores. Tempat tersebut kemudian ditinggalkan di tahun 1613, tetapi orang Portugis tetap kuat di Timor dengan permukiman di Lifau ( 1702-1769 ) dan di Dili sampai 1975.
Orang-orang Portugis bekerja sama dengan penguasa Gowa-Tallo’ dimana mereka disambut terbuka di istana. Persaingan yang ketat terjadi antara Portugis dan VOC. Belanda mengambil alih Ambon dari Portugis tahun 1605. Penduduk Banda berkurang dari satu sampai dua ribu orang ketika VOC menerapkan monopoli buah palanya di tahun 1621. Mereka yang selamat beralih menjadi pengungsi dan pedagang yang dengan getir bermusuhan dengan VOC. Mengikuti gempuran yang berhasil atas Ternate di tahun 1679-1681, intervensi Belanda menjadi semakin menentukan, tetapi baru di tahun 1783 Tidore dan Ternate resmi ditaklukan oleh VOC.
Suku Bugis merupakan suku yang tersebar di seluruh Malaysia dan Indonesia. Jaringan perdagangan mereka membentuk satu poros timur-barat, dengan Johor-Riau di ujung barat, dan Makassar di timur. Makassar dalam hal ini harus dipahami sebagai istilah yang mengacu pada satu kumpulan pelabuhan di Sulawesi Baratdaya, tetapi tidak terbatas pada Makassar yang dikuasai Belanda.
Setelah tahun 1720 Bugis sangat kuat di Kepulauan Riau-Lingga yang strategis di ujung selatan Selat Malaka sampai Belanda menyerangnya di tahun 1784. Para pedagang Cina membentuk faktor penyatu utama yang kedua sesudah orang Bugis dalam perdagangan di Maluku di abad ke-18. Meskipun orang Cina memainkan peranan kunci dalam permukiman VOC sebagai pengusaha, tukang, dan pembayar pajak, VOC sangat curiga akan persaingan ekonomi mereka. Meskipun demikian, para sultan dari Ternate dan Tidore sangat menentang usaha apa pun dari Belanda untuk membatasi kegiatan orang Cina yang sangat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan penguasa terutama di Teluk Tomini, Maluku, dan New Guinea. Di tahun 1773 para pejabat VOC di Ternate mencatat bahwa 2 dari 3 sampan (jung) Cina yang penuh beban muatan datang dari Sulu tiap tahun, mempertukarkan barang mereka dengan mutiara, tempurung penyu, dan lilin.
Di tahun 1770-an Belanda menganggap Timor, Makassar, Ternate, dan Tidore sebagai penjaga jalur laut ke Maluku. Akibatnya, garnisun dan kapal penjelajah di Makssar sangat sentral dalam strategi VOC, tidak hanya karena lokasinya tetapi juga karena Makassar pada mulanya merupakan pusat utama perdagangan bebas untuk rempah-rempah. Orang-orang Bugis dianggap sebagai ancaman bagi perdagangan VOC dan karenanya membatasi pelayaran mereka menjadi kebijakan yang penting bagi Belanda. Tetapi kendali VOC atas Makassar dan Maluku tidak menyebabkan menurunnya perdagangan Asia. Pegawai VOC maupun saudagar-saudagar Asia berminat untuk mendapatkan uang dan karena itulah mereka sangat longgar dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan. Korupsi menjadi umum terjadi terutama di daerah yang didominasi oleh VOC, penyelundupan juga terus berlangsung. Banyak perdagangan terjadi dibawah tangan, menciptakan koneksi dan titik pertukaran di luar jangkauan Belanda.
Tahun 1730, sebagai contoh, Keffing di Seram Timur adalah satu pasar dimana pedagang Makassar, Bugis, Melayu, dan Jawa mempertukarkan kain dengan rempah-rempah. Pedagang Makassar membawa bagian mereka melalui Teluk Tomini lewat Mandar ke Makassar atau Banjarmasin, atau menyusuri pantai Kalimantan Timur (Berau memainkan peran penting) dan kemudian ke arah barat.
Di abad ke-18, pedagang Bugis secara dominan di Pasir dan Kutai Kalimantan Timur, menghubungkan daerah pedalaman yang dapat dicapai lewat sungai-sungai Kendilo dan Mahakam, dengan jaringan di seberang lautan. Pantai Timur Kalimantan menjadi semakin terikat pada Makassar, dimana Brunei (partner dagang lama mereka yang lain) menjadi semakin terkait dengan orang-orang Spanyol-Filipina dan Sulu. Bagi para pedagang yang ingin menghindari Belanda, Brunei merupakan pelabuhan singgah yang tepat. Banjarmasin (pantai tenggara Kalimantan) pernah berhubungan erat dengan Sulawesi Selatan.
Mulai 1740 kapal-kapal Inggris dan Cina mengunjungi pelabuhan yang kaya akan lada ini secara teratur sehingga pedagang-pedagang lokal mulai pergi ke sana meskipun ada larangan. Belanda terpaksa mengintervensi dengan mendirikan pos perdagangan di tahun 1749. Di tahun 1767 syahbandar Makassar mengeluh akan adanya perdagangan timur-barat ilegal yang berpusat di Riau. Belanda akhirnya menghancurkan Riau di tahun 1784, mematahkan kekuatan Bugis dan memantapkan kekuasaannya atas sultan-sultan Melayu.
Di tahun 1660-an, pedagang-pedagang di Gujarat dengan menggunakan koneksi Inggris, menjadikan Manila sebagai pangkalan terdepan untuk perdagangan Cina. Karenanya, dengan membangkang pada para Kaisar Cina, VOC, dan aturan Spanyol, Manila terus menarik saudagar dari berbagai daerah. Hanya dengan Reformasi Basco di tahun 1770-an perdagangan akhirnya diizinkan secara resmi untuk dilanjutkan, melegalkan penyelundupan yang sudah berpuluh tahun dilakukan.
Di abad ke-18, Sulu juga berkeinginan keras untuk menghidupkan kembali perdagangan mereka dengan Cina, yang sekali lagi terbuka untuk perdagangan, dan diantara tahun 1727 dan 1763 Sulu mengirim lima kali upeti yang membawa misi perdagangan ke Cina. Permukiman Bugis di Pulau Laut, Pasir, Samarinda, dan Berau mempertukarkan barang dengan Sulu yang menjadi tetangga mereka yang berlokasi di permukiman utara. Perdagangan yang terjadi di pelabuhan yang kerap dikunjungi Cina, dan setelah tahun 1746 kontak langsung dengan Amoy, menjadi basis fundamental penyusunan ulang perdagangan Makassar.
Prioritas utama VOC adalah untuk memonopoli perdangan rempah-rempah dan sekitar tahun 1670 mereka cukup berhasil. Kendali VOC menjadi tidak relevan dalam ekspor yang ditujukan ke Cina, yang sering berasal dari laut yang terpencil atau daerah hutan. Dalam hal ini termasuk perdagangan tripang yang didasarkan pada kerjasama pedagang dan pelayan Bugis, Makassar, dan Bajo dengan saudagar Cina. Daerah-daerah yang berhasil menentang orang-orang Eropa seperti pelabuhan-pelabuhan Riau, Sulu, dan Kalimantan memperoleh kemakmuran mereka dari jaringan-jaringan perdagangan ini yang merupakan kelanjutan dari pola-pola di abad sebelumnya.
---
Disclaimer: @zhafiradnz personal archives.
Contribute to: @kawula_historia
Comments
Post a Comment