Seri Sejarah dalam Lini Abad ke XVII - XVIII: PALEMBANG dan JAMBI #2

Pada pertengahan abad ke-17 negara utama di Nusantara terdiri atas beberapa wilayah, di mana bagian barat adalah Johor, negara Malaysia pengganti Malaka, Palembang dan Jambi di Sumatra Selatan, dan basis VOC di Batavia di Jawa bagian barat. Pada tahun 1641, VOC merebut Malaka dari Portugis yang kemudian menjadikannya basis VOC.

"Palembang dan Jambi adalah eksportir Lada. Sejak abad ke-17, kebutuhan lada untuk Cina dan Eropa cukup besar". 

Namun pasar lada ini mengalami penurunan drastis sejak tahun 1640 karena perluasan penanaman sehingga harga lada jatuh pada akhir abad ke-17 dan ke-18. Meskipun pada tahun 1642, VOC mempunyai hak monopoli perdagangan lada dari Palembang. VOC menawarkan perlindungan politik dan militer kepada Raja Palembang dan raja lokal lainnya yang mau tunduk pada VOC dengan imbalan akses menguntungkan pada produk lokal. Hal ini dilakukan karena VOC tidak mempunyai produk yang ditawarkan untuk memenuhi kesepakatan dagang. Pertukaran perdagangan Nusantara dengan imbalan politik VOC.

Selain membuat perjanjian dengan VOC, Palembang juga melakukan traktat (perjanjian) dengan Portugis dengan mengizinkan Portugis berdagang di sana, namun pamor perdagangan Portugis menurun. Posisi Cina cukup strategis karena berperan sebagai makelar dalam dalam perdagangan lada di Palembang antara pedagang VOC dan Inggris. Pada tahun 1655, VOC menerapkan traktat di Palembang dengan menghentikan kapal pedagang lain dan menyita kargo lada mereka. Blokade ini mendapat perlawanan yang sengit. Pertikaian raja lokal juga mendorong masuknya VOC dalam konflik tersebut. 

Ketika Jambi dan Palembang bermkonflik, Jambi didukung oleh VOC. Kedua negara ini sebelumnya menjadi vasal Mataram. Kedua pemimpin ini pernah berkunjung ke Mataram secara pribadi pada tahun 1650-an. Tetapi pada masa Amangkurat I, Palembang dan Jambi lepas dari Mataram. Jambi beralih ke VOC. Perselisihan antara Palembang dan Jambi menyoal lada membuat prajurit Makasar ikut-ikutan dalam perselisihan tersebut.

Penguasaan VOC terhadap Malaka tidak membuat Malaka makin makmur karena VOC lebih memperhatikan Batavia. Para pedagang Cina dan India yang berdagang di Malaka justru diarahkan ke Batavia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Johor dengan menggiatkan perdagangannya di Riau. Pada tahun 1687 banyak pedagang asing di Johor seperti Siam, Cina, Aceh, Perak, Kedah, Portugis, Inggris, dan lainnya. VOC tidak mampu berbuat banyak, tapi Jambi pada tahun 1673 menyerang dari Malaka dan menguasai Riau. Jambi dibebani ekspansi lada karena kekayaan mengalir bukan ke tangan penguasa.

Di sisi lain, pada masa ini Palembang mengalami kemakmuran pada abad ke-17. Di Palembang kehadiran VOC, seringkali mengudang kebencian terutama berkaitan dengan pengendalian impor pakaian dan melarang penjualan lada di luar wilayah yang menjadi kesepakatan monopoli. Raja Palembang, Abdul Rahman, menjaga hubungan baik dengan VOC. VOC memperoleh lada Palembang lebih dari setengah produk lada. Atas kondisi tersebut, Abdul Rahman ikut berpartisipasi dalam perdagangan liar lada yang menjadi sumber kekayaan utama pemasukannya. Pada masa ini penyebaran lada semakin pesat karena adanya budak-budak sebagai pekerja.

Serangan Palembang terhadap Jambi membuat tanaman lada di Jambi menjadi terbengkalai, sehingga pendapatan Sultan Jambi menurun dan banyak pedagang Cina pergi. Orang laut yang merupakan pasukan Sultan di selat Malaka yang hidup nomaden kemudian mencari pendapatan dengan menjadi bajak laut. Penguasa Jambi diturunkan VOC pada tahun 1687 karena konflik antar saudara selama 30 tahun di Jambi. Banyak penduduk lokal yang pergi ke Palembang dan daerah lain.

Pada tahun 1712, Sultan Jambi, Kiai Gede (1687-1719) menundukkan Hulu dengan bantuan VOC. Namun tetap tidak membuat Jambi menjadi sejahtera. Pada periode ini Johor menyerang Jambi, dan pada tahun 1719 Hulu memberontak. Setelah Kiai Gede meninggal, konflik antara aristokrat di Jambi dan perang sipil muncul. Penerusnya adalah Sultan Astra Ingalaga (1727-1743), si pecandu opium. Pasca kekuasaanya pada tahun 1744, ia mewariskan tahtanya pada saudaranya, tetapi kekuasaannya tetap tidak berkembang.

Ketidakberdayaan penguasa Jambi membuat VOC kadangkala memainkan peran sebagai penguasa lokal. Penguasa lokal menjadi boneka atau agen kompeni yang memberatkan. Pada tahun 1754, garnisun milik VOC lari dari Jambi ke Palembang karena takut diserbu rakyat yang sedang marah. Atas peristiwa tersebut, VOC menjadi marah dan memblokade Jambi, sehingga lahir kontrak antara VOC-Jambi tahun 1756. Konflik VOC-Jambi dipertajam dengan adanya para petualang Bugis. Pada tahun 1768, pos VOC diserang dan VOC mulai meninggalkan Jambi hingga abad ke-19 karena Jambi berubah menjadi sarang penyamun. 

Di Palembang, setelah terjadi perselisihan internal, pasca meninggalnya Sultan Abdul Rahman di tahun 1706, kerajaan dipimpin oleh Sultan Mahmud Badarudin (1724-1757). Pada masa ini produk lada menurun, produk penggantinya adalah timah yang terdapat di Bangka yang kala itu berkedudukan negara bawahan Palembang. Awalnya para penambang berasal daei Bugis. Sultan Mahmud Badarudin mampu mengendalikan Bangka dan Belitung.

Pada tahun 1731, VOC membantu perlawanan Bugis terhadap Bangka. Setelah itu, penambang Cina mulai masuk ke Bangka. Di akhir masa Sultan, ada sekitar 25 hingga 30 ribu orang Cina di Bangka. VOC memonopoli lada dan timah di Palembang. Tetapi monopolinya hanya separuh hasil produksi Palembang. Sisanya dijual dalam perdagangan liar oleh bangsawan Palembang. Barang yang diperdagangkan secara liar, harganya jauh lebih tinggi dari yang dibeli oleh VOC. Sultan berpartisipasi dalam perdagangan liar ini sehingga menjadi kaya.

Kekayaan dan gaya Sultan Mahmud Badarudin membuat ia meraih reputasi tertinggi di Palembang. Dia beruntung berkuasa di masa VOC lemah, keuangan VOC melemah dan banyak terlibat dalam urusan Jawa. Atas berbagai peristiwa di Palembang tersebut, maka VOC memandang bahwa penguasaan atas Palembang berbiaya tinggi karena tidak bisa diimbangi dengan hasil penjualan timah.

Pada masa Mahmud Badarudin, orang Bugis merupakan kekuatan besar di Nusantara bagian barat. Kehadiran Inggris juga menjadi kekuatan penyeimbang dari VOC. Bugis dan Inggris adalah penjual senjata lebih modern yang didatangkan ke Palembang dalam jumlah besar. Hal inilah yang menyebabkan konflik lokal sehingga menelan banyak korban. Ketika ada penemuan emas di Lampung pada tahun 1730, yang diperebutkan Palembang dan Banten, orang Bugis dan Minangkabau ikut menyumbang kekacauan di Lampung. Perdagangan timah juga menarik orang Arab. Datangnya orang Arab ini membuat Palembang berkembang sebagai pusat pengetahuan Islam pada abad ke-18.

Pengganti Sultan Mahmud Badarudin adalah Sultan Ahmad Tajuddin (1757-1774). Keberadaan penambang Cina di Bangka sulit dikendalikan. Tetapi dalam perkembangannya, para bangsawan Palembang dapat mengendalikan penambang Cina tersebut. Akibatnya orang Cina berpindah ke tempat lain, terutama di Kalimantan dan Perak. Pada tahun 1780-an, jumlah orang Cina di Bangka merosot dari 25 – 30 ribu 3 tahun sebelumnya, menjadi 6-13 ribu saja. Produksi tambang merosot dan perdagangan timah liar diluar kontrol VOC dan Sultan.

---

Disclaimer: @zhafiradnz personal archives. 

Contribute to: @kawula_historia


Comments